Selasa, 14 Maret 2017

Pengertian, Sumber dan Penerapan Kaidah Al Umuuru Bimaa Qhosidiha

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah ( kaidah-kaidah fiqh ) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak dari kita yang belum mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan dan menjelaskan  tentang kaidah-kaidah fiqh asasi 1 (al-umuur bimaqashidha), mulai dari pengertian, maksud, makna, asal serta aplikasinya kaidah tersebut.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Kaidah al-ummur bimaqashidha ini adalah menegaskan bahwa setiap amal perbuatan baik yang menyangkut hubungan manusia dengan allah maupun hubungan dengan sesama manusia. Landasan dari kaidah fikih ini adalah al-qur’an dan sejumlah hadis.

B.     Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian dan urgensi niat mencakup substansi sampai tujuan, ?
2.  Apa asal dalil kaidah?
3.  Bagaimana aplikasi atau penerapan kaidah pertama tsb ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Makna Kaidah
الأمور بمقـاصدها
Yang berarti segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung dalam didalam hati seseorang saat melakukan perbuatan,menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan,baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan.
Dengan demikian,setiap perbuatan itu pasti didasarkan pada niat, jika tidak,maka perbuatan tersebut bersifat spikulatif. Karenannya,niat atau motif itu memiliki posisi yang penting sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan kontruksi pekerjaan yang dilakukan yang berkonsentrasi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak.
Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshod. Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbuatan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Makna Niat, Kata niat (النيّة) dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna niat tidak keluar dari makna literar linguistiknya, yaitu maksud atau kesengajaan. Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan

1. Subtansi niat
Niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan, sedangkan menurut pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk melaksakan sesuatu, sedangkan menurut istilah fuqoha’ niat adalah kesengajaan melakukan ketaatan dan pendekatan kepada Allah dengan cara melakukan perbuatan atau dengan cara meninggalkanya.

2. Status niat
Fuqoha’ berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan syarat atau rukun? Adapun pendapat yang mengatakan niat itu termasuk rukun adalah pendapat yang dibuat pegangan.Ulama’ yang melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun. Sementara mereka yang memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai syarat.

3. Tempat niat
Tempat niat adalah didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang diucapkan hanya dengan lisan maka niat itu tidak sah tanpa didasari keinginan hati. Dan apabila ada sebuah niat dilakukan pada dua tempat yaitu hati dan lisan maka yang dimenangkan adalah niat yang ada didalam hati. Karena hakikat niat adalah bermaksud dan menyengaja (al-qashd), mayoritas ulama fiqh (jumhur) sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Meskipun demikian, karena gerakan hati itu sulit, maka para alim ulama menganjurkan agar disamping niat juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong dan membantu gerakan Hati.

4. Waktu niat
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini didasarkan penelitian ulama’yang mengatakan bahwa huruf ba’ yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberikan sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri. Namun ada pengecualian dalam hal ini. Seperti pada ibadah puasa wajib. Pada awalnya, niat puasa wajib harus dilakukan pada awal pelaksanaannya;yaitu tepat pada saat muncul fajar shadiq. Namun karena melihat kenyataan bahwa sangat sulit mengetahui munculnya fajar shadiq, maka syari’at memberi kebijakan bahwa niat puasa dimajukan waktunya, yaitu sebelum waktu subuh tiba.

5. Hal-hal yang membatalkan niat
Hal-hal yang membatalkan niat diantaranya:
a. Riddah atau Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari i’tiqad (niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur.
b. Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
c. Niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain
d. Ketidak mampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati.

6. Syarat-syarat niat
Niat, seperti yang telah di paparkan di atas, pada dasarnya adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu.
Tanpa syarat-syarat itu, seorang tidak dapat di sebut berniat, Diantaranya:
a. Islam
b. Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
c. Mengetahui terhadap yang di niati (al-manwi)
d. Tidak adanya perkara yang menafikan niat
e. Adanya kemampuan terhadap yang diniati.

7. Tujuan pelaksanaan niat
Tujuan niat mempunyai posisi yang sangat penting bila dikaitkan dengan beragam aktifitas manusia, antara lain:
a. Untuk membedakan aktifitas yang berstatus ibadah dan adat, contoh: mandi besar untuk menghilangkan jinabat dan mandi untuk membersihkan badan.
b. Untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah, contoh: puasa dan sholat adakalanya yang wajib dan yang sunnah.

B.     Asal dalil kaidah
Ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan kaidah ini adalah sebagai berikut:
1.      Q.S Al Bayyinah ayat:5
 وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas,
2.      Q.S Ali 'Imran ayat: 145

وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Artinya: ......barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberikan balasan kepada hambanya sesuai dengan maksud dan tujuan hamba tersebut melaksanakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan tujuan duniawi, Ia akan membalasinya dengan pahala dunia. Sementara orang yang melaksanakan suatu perbuatan untuk kepentingan akhiratnya, Allah akan membalas dengan pahala di akhirat.
Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang penting peran maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan seperti berikut:
 إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya setiap  perbuatan itu (tergantung) niatnya.      Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. (H.R Bukhori Muslim)
 Dalam hadis lain di sebutkan:

لاعمل لمن لا نية له
Artinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat”. (HR. Anas Ibn Malik ra.)

إنما بعث الناس على نياته
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.” (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.)
Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni dan lainnya sepakat menetapkan bahwa hadits niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan Islam. Pendapat semacam ini diulas oleh imam al-Baihaqi sebagai berikut.“segala aktifitas manusia itu ada kalanya berpangkal pada hati sanubari, pada lisan dan  ada kalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal di hati sanubari adalah aktivitas kejiwaan. Aktivitas itu lebih penting dan kuat ketimbang aktifitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan”. Hal itu disebabkan karena niat dapat berfungsi sebagai ibadat yang berdiri sendiri sedang aktifitas yang lain tidak dapat berfungsi ibadat sekiranya tidak di dukung oleh niat. Niat sekalipun tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik daripada perbuatan yang tidak di barengi dengan niat. Demikianlah jiwa dari sabda rasul Saw.


C. Penerapan Kaidah

Dalam masalah ibadah, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ibadah tidak sah dilaksanakan tanpa dimulai dengan niat, seperti bersuci, berwudhu, tayamum, memandikan jenazah, membersihkan bejana,shalat, puasa, iktikaf, zakat, haji, berkurban, bernazar. Dalam masalah muamalah niat juga diperlukan dalam berbagai amalan seperti nikah dengan segala permasalahannya, jihad, wakaf, hibah, wasiat, menuntut dan menyebar ilmu pengetahuan, dan melaksanakan hukum hudud.
Dalam masalah mubah jika bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah juga di syaratkan niat, seperti makan, minum, berpakaian, dan mencari rezki dan profesi. Dalam berbagai masalah transaksi niat juga menjadi syarat, seperti dalam jual-beli, utang-piutang, mudarabah, hiwalah, iqalah al-wakalah. Dalam masalah qada (pengadilan) dengan segala perangkatnya dan dalam masalah persoalan jarimah hudud, takzir, dan kisas.
Disamping itu juga menurut jaluddin as-suyuti (tokoh fikih mazhab syafi’i) dan ibnu Qayyim al-jauziah (tokoh fikih mazhab hanbali) segala bentuk transaksi yang menggunakan lafal kinayah (sindiran) keabsahannya diperlukan oleh niat pelaku. Misalnya dalam kasus talak.
Secara umum, perbuatan yang berkaitan dengan syarat dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, perbuatan yang mengharuskan adanya niat. Kedua, perbuatan yang tidak mengharuskan adanya niat. Perbuatan kategori pertama dibedakan pula menjadi dua. Pertama, niat yang harus dilakukan di awal (sebelum berbuat); dan kedua, niat dilakukan ketika berbuat. Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut:
a.       Malikiyah berpendapat bahwa mendahulukan niat untuk bersuci adalah boleh. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa niat beruci dan shalat harus berbarengan dengan perbuatan.
b.      Niat zakat boleh diniatkan sebelum benda zakat di serahkan kepada mustahiq zakat (Jumhur: hanafiyah, malikiyah, syafi'’yah, dan hanabilah). Namun sebagian ulama Syafi’iyah bependapat bahwa niat zakat harus berbarengan dengan penyerahan barang zakat.
c.       Ulama syafi’iyah dan hanabilah mewajibkan berniat puasa pada malam hari (sebelum puasa ramadlan); ulama hanafiyah berpendapat bahwa niat puasa boleh dilakukan pada malam hari sebelum puasa ramadlan, atau bebarengan ketika mulai puasa (waktu fajar, menjelang subuh), bahkan boleh mengahirkannya hingga tengah hari (sebelum waktu dzuhur), baik puasa wajib maupun sunnah. Sedangkan malikiyah berpendapat bahwa niat puasa wajib di dahulukan (sebelum waktu subuh), baik puasa wajib maupun sunat.
d.      Jumhur ulama berpendapat bahwa niat qadha, nadzar, dan kifarat tidak boleh diakhirkan.
e.       Niat berkurban tidak boleh didahulukan sebelum menyembelih, dan tidak diwajibkan iqtiran niat berkurban ketika menyembelih.
f.       Niat untuk mengecualikan hal-hal tertentu dalam sumpah wajib dilakukan sebelum sumpah selesai.
 Niat Juga berarti patokan dasar dalam hal hal yang berkaitan dengan Perintah Allah adalah niat dan dalam hal hal yang berkaitan dengan hak hak manusia adalah lafalnya


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kaedah al-Umur Bi Maqasidiha merupakan salah satu kaedah Fiqhiyyah yang boleh digunakan oleh ahli fuqaha’ pada hal-hal dalam menyelesaikan masalah ummat yang tidak terdapat didalam nas al-Quran dan al-hadith, sama ada menggunakan kaedah ijtihad, qiyas dan sebagainya, ulamak pada hari ini juga perlu bijak menggunakan fikiran mereka dalam mengeluarkan hukum, dimana hukum yang dikeluarkan mestilah bersumberkan al-Quran, al-Hadith, Qiyas dan ijmak Ulamak karena setiap masalah yang berlaku berbeda mengikut peredaran zaman, dan agar hukum yang dikeluarkan bersesuaian dan bertepatan dengan keadaan zaman tersebut.
Dapat disimpulkan juga disini, bahawa setiap sesuatu perbuatan Mukallaf itu akan dikira berdasarkan niatnya, jika niatnya kearah kebaikkan maka dia akan mendapat pahala, namun jika sebaliknya ia akan mendapat kemurkaan daripada Allah swt. Niat juga merupakan salah satu alat pengukur bagi perbuatan seseorang mukallaf sama ada dari segi ibadah,muamat,muanakahat maupun jinayah. Sesuatu ibadah itu akan sempurna jika sesuatu perbuatan itu disertakan dengan niat.

B.     Saran
Kami selaku pemakalah sekaligus penulis kami menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik ALLAH, oleh karena itu kami sangat mengaharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini agar kami bisa menjadikan saran tersebut sebagai pedoman dikesempatan mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

Zein, M. Ma’shum, Pengantar Memahami Nadzhom Al Faroidul Bahiyyah, :  Darul Hikmah, Jombang, 2010
Burhanudiin, fiqh Ibadah Untuk  IAIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia ,Bandung  ,2001
Andiko,Toha, Ilmu Fiqhiyah Praktis dalam  Merespon Problematika  Hukum  Islam, Teras , Yogyakarta,2011
Djazuli A.,Kaidah-kaidah fikih,Jakarta:Kencana,2007, Ed.1.Cet.ke-2
Firdaus,Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Padang:IAIN Press,2010, Cet. Ke-1
Al Qarafi, Syihabuddin, Al faruq wa anwar al-Buruq fi anwa’ al furuq, Juz II Kaero, Dar al Fikr Al Mishri,1334_1346


0 komentar

Posting Komentar