Senin, 01 Mei 2017

Pensyaratan Dalam Pernikahan


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Al-Quran dan al-Hadits merupakan 2 pilar utama yang menjadi landasan berfikir para pakar muslim dalam mencetuskan hukum. Baik itu munakahah, muamalah, ubudiyat ataupun jinayat pasti tidak terlepas dari kedua pilar tersebut. Salah satu permasalahan fiqh dalam munakahat adalah pensyaratan dalam pernikahan oleh salah satu mempelai, baik itu pihak suami ataupun pihak isteri. Dalil nash yang mengatur pensyaratan tersebut diantaranya adalah hadits di kitab Bulughul Maram , yakni “إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ”.
Sebagai akademisi kami menyadari bahwa tidak semua orang bisa mahami betul terkait hadits diatas. Oleh karenanya, kami berusaha semaksimal mungkin untuk memaparkan hadits diatas dengan bahasa yang lugas.

B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana keterkaitannya dengan ayat al-Quran?
2.Bagaimana pandangan fiqh nya?
3.Bagaimana sanadnya?
4.Bagaimana syarah nya?
5.Bagaimana keterkaitannya dengan KHI?


BAB II
PEMBAHASAN

A.Hadits di Bulughul Maram
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Sesungguhnya, syarat yang lebih patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata perempuan
B. Keterkaitan Ayat al-Quran
Hadits diatas ada keterkaitannya dengan Q.S al-Qashash ayat 29, yakni:
فَلَمَّا قَضَى مُوسَى الأجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لأهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ جَذْوَةٍ مِنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ
Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung; ia berkata kepada keluarganya, "Tunggulah (di sini), se¬sungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan."

Redaksi وَسَارَ بِأَهْلِهِ mengindikasikan bahwa laki-laki itu bisa pergi mengajak isterinya bepergian kapanpun dan kemanapun, sekiranya suami ini mau. Kecuali kalau pihak suami ini sudah menyepakati bahwa dia tidak akan mengajak isteri ke suatu tempat.
Karena ada ungkapan hadits:
فَالْمُؤْمِنُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
Orang-orang beriman itu terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat

وَأَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Syarat yang lebih patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata perempuan

C.Pandangan Fiqh
Persyaratan dalam pernikahan merupakan salah satu pembahasan menarik yang sudah dijelaskan oleh Ulama-lama terdahulu. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Ash-Shawi (w. 1241 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Hasyiatu Ash-Shawi Ala Asy-Syarhi Ash-Shaghir sebagai berikut :
وكل ما (وقع على شرط يناقض) المقصود من النكاح؛ (كأن) وقع على شرط أن (لا يقسم) بينها وبين ضرتها في المبيت. (أو) على شرط أن (يؤثر عليها) ضرتها بأن يجعل لضرتها جمعة أو أقل أو أكثر تستقل بها عنها. (أو) شرطت (أن نفقة) زوجها (المحجور) لصغره أو لرقه؛ أي شرطت عند تزويجها بمحجور عليه أن نفقتها تكون (على وليه) أبيه أو سيده، فإنه شرط مناقض لأن الأصل أن نفقة الزوجة على زوجها، فشرط خلافه مضر. (أو عليها) : أي شرط الزوج أن نفقته عليها فإنه شرط مخل، وكذا لو شرطت أن ينفق على ولدها أو على أبيها أو على أن أمرها بيدها متى أحبت...(وألغي) الشرط المناقض فلا يعمل به.
Setiap syarat yang menghalangi tercapainya tujuan pernikahan, seperti seorang istri yang mensyaratkan suaminya agar tidak membagi malamnya untuk madunya, atau mensyaratkan agar suaminya bersama madunya hanya boleh pada hari jum'at... ataupun mensyaratkan bahwa nafkah karena suami masih kecil atau budak, menjadi tanggung jawab wali, orang tua, atau pun tuannya suami, Ini adalah syarat yang bertentangan. karena dasarnya kewajiban menafkahi istri adalah kewajiban suami, maka syarat yang bertentangan ini merugikan. Begitu juga seorang suami yang mensyaratkan seorang istri yang bertanggung menafkahi dirinya, ini syarat yang rusak. Sama halnya dengan seorang Istri yang mensyaratkan suaminya wajib menafkahi anaknya, orang tuanya, atau menetapkan bahwa hak bercerai ada ditangannya, kapan saja dia mau. Maka syarat-syarat diatas semuanya tertolak, dan tidak harus dilakukan.
Al-Mardawi (w. 885 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf sebagai berikut:
الشروط المعتبرة في النكاح في هذا الباب محل ذكرها: صلب العقد…. وقال الشيخ تقي الدين - رحمه الله -: كذا لو اتفقا عليه قبل العقد، في ظاهر المذهب… قلت: وهو الصواب الذي لا شك فيه
Mensyaratkan sesuatu dalam pernikahan diperbolehkan ketika masih dalam akad. Syeikh Taqiyuddin berkata: Bahkan jika syarat tersebut disepakati kedua belah pihak sebelum akad nikah, maka syarat tersebut boleh. Menurutku: Dan pendapat itulah yang benar dan tidak diragukan lagi.

D.Sanad
1)Hadis yang Setema
Hadis yang setema dengan hadits di atas adalah:
a)Sunan Ibnu Majah
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيل ، قَالَا : حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ ، عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ "
b)Sunan an-Nasai
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ تَمِيمٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ حَجَّاجًا ، يَقُولُ : قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ : أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ ، أَنَّ أَبَا الْخَيْرِ حَدَّثَهُ , عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ "
c)Sunan as-Darimi
أَخْبَرَنَا أَبُو عَاصِمٍ ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ ، عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : " إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ مِنَ الْفُرُوجِ " .
d)Sunan Abi Daud
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ حَمَّادٍ ، أَخْبَرَنِي اللَّيْثُ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ : " إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ "
e)Sohih Ibnu Hibban
أَخْبَرَنَا أَبُو خَلِيفَةَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ ، قَالَ : حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ " ، قَالَ أَبُو حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَبُو الْخَيْرِ : مَرْثَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْيَزَنِيُّ

2)Skema Sanad
E.Kritik Matan

Matan hadis di Bulugul Maram
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Terdapat di: Perbedaan
1.Sunan Ibnu Majah الشروط menjadi الشرط
2.Sunan an-Nasai Tidak ada
3.Sunan ad-Darimi أَنْ يُوَفَّى بِهِ menjadi أَنْ تُوفُوا بِهَا
4.Sunan Abi Daud أَنْ يُوَفَّى menjadi أَنْ تُوفُوا
5.Sohih Ibnu Hibban إِنَّ أَحَقَّ menjadi أَحَقَّ

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa hadits yang di kitab Bulughul Maram sama persis dengan hadits yang terdapat pada Sunan an-Nasai. Sedangkan pada kitab yang lainnya terdapat sedikit perbedaan. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1)Sunan Ibnu Majah
Perbedaannya terletak pada lafadz الشروط. Di Bulugul Maram menggunakan الشروط sedangkan di Ibnu Majah menggunakan الشرط. Karena الشروط itu lafadz jamak, maka madlul dari lafadz tersebut adalah beberapa syarat. Sedangka lafadz الشرط itu madlulnya satu syarat, karena lafadz tersebut bentuk mufrod.
2)Sunan ad-Darimi
Perbedaannya terletak pada lafadz أَنْ يُوَفَّى بِهِ. Di Bulugul Maram menggunakan أَنْ يُوَفَّى بِهِ sedangkan di Sunan ad-Darimi menggunakan أَنْ تُوفُوا بِهَا. Susunan pada lafadz yang awal itu berupa fiil majhul yang waqi nya ghoib dan sesudahnya adalah naibul fail. Marji dari domir bihi adalah حق. Sedangkan pada lafadz yang kedua, waqi nya adalah jamak mukhotob dan marjinya بها adalah الشروط.
3)Sunan Abi Daud
Perbedaannya terletak pada lafadz أَنْ يُوَفَّى. Di Bulugul Maram menggunakan أَنْ يُوَفَّى  sedangkan di Sunan ad-Darimi menggunakan أَنْ تُوفُوا . Susunan pada lafadz yang awal itu berupa fiil majhul yang waqi nya ghoib dan sesudahnya adalah naibul fail. Sedangkan pada lafadz yang kedua, waqi nya adalah jamak mukhotob.
4)Sohih Ibnu Hibban
Perbedaannya terletak pada lafadz إِنَّ أَحَقَّ. Di Bulugul Maram menggunakan إِنَّ أَحَقَّ sedangkan di Sohih Ibnu Hibban menggunakan أَحَقَّ tanpa ada tambahan huruf taukid ( إنّ ).

F.Makna Kosa Kata
إِنَّ:sesungguhnya
أَحَقَّ:paling berhak
الشُّرُوطِ: berbagai syarat
أَنْ يُوَفَّى: dipenuhi
بِهِ: padanya
مَا: sesuatu
اسْتَحْلَلْتُمْ: menganggap halal
الْفُرُوجَ: kemaluan wanita

G.Makna istilah
إِنَّ
Huruf ini mengandung makna taukid, menasobkan isim dan merofakan khobarnya. Bilamana mukhotob dalam pembicaraan menunjukkan keragu-raguan terhadap apa yang dibicarakan mutakalim, maka sebaiknya mutakalim menggunakan huruf-huruf yang mengandung taukid, salah satu nya adalah huruf inna. Namun, apabila mukhotobnya menunjukkan pengingkaran terhadap apa yang dibicirakan mutakalim maka mutakalim diharuskan menggunakan huruf-huruf yang mengandung makna taukid, salah satunya adalah huruf inna.
مَا
Lafadz ini merupakan salah satu lafadz yang mengandung makna ‘aam, yakni lafad yang maknanya lebih dari satu.

H.Syarah Hadits
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Darf Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Bahwa syarat yang harus dipenuhi adalah syarat yang menghalalkan kemaluan untukmu." (Muttafaq Alaihi)
Hadits ini adalah sebagai dalil yang menunjukkan bahwa syarat-syarat yang disebutkan dalam akad nikah harus dipenuhi terlebih dahulu baik yang berkenaan dengan mahar atau lainnya, karena itu merupakan hak mutlak si wanita; dan kehalalannya dicampuri pasangan tergantung pemenuhan syarat-syarat yang menjadi haknya atau berdasarkan keridhaan terpenuhi hak-haknya yang lain. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Al-Khaththabi berkata, "Syarat-syarat dalam akad nikah berbagai macam bentuknya. Ada yang harus dipenuhi berdasarkan kesepakatan ulama yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah yang meliputi menjaga keutuhan keluarga dengan baik atau berpisah dengan baik, sebagian ulama menafsirkan hadits seperti ini. Ada juga syarat-syarat yang tidak harus dipenuhi, seperti syarat harus menceraikan saudarinya karena adanya larangan tentang hal itu. Dan ada juga syarat-syarat yang diperselisihkan para ulama, seperti syarat tidak boleh menikah lagi (poligami), tidak boleh membeli budak wanita atau tidak boleh memindahkannya dari rumah keluarganya ke rumah suaminya. Adapun syarat-syarat diwajibkan sang calon suami selain mahar, ada yang mengatakan itu adalah hak mutlak si wanita; inilah pendapat yang dianut Al-Hadawiyyah, Atha' dan ulama lainnya. Ada yang mengatakan bahwa itu menjadi hak bagi yang mensyaratkan. Ada yang mengatakan, menjadi hak milik bapak saja tidak bagi wali lainnya. Malik berkata, "Kalau diucapkan ketika akad nikah dilangsungkan, berarti termasuk mahar, dan jika setelah akad nikah; menjadi milik yang mensyaratkan (suami) berdasarkan hadits yang diriwayatkan An-Nasa'i dari hadits Amru bin Syua'ib dari bapaknya dari kakeknya secara marfu' dengan lafazh:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى صَدَاقٍ أَوْ حِبَاءٍ أَوْ عِدَةٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ أُعْطِيَهُ، وَأَحَقُّ مَا أُكْرِمَ عَلَيْهِ الرَّجُلُ ابْنَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ»
"Setiap wanita yang dinikahi atas syarat mendapat mahar atau hibah, atau dijanjikan mendapatkan sesuatu sebelum akad nikah; maka itu menjadi hak miliknya, sedangkan kalau dijanjikan setelah akad nikah, itu menjadi hak yang mengucapkan (suami), dan seorang yang harus diperhatikan sang suami adalah anak perernpuannya atau saudara perempuannya.” [An-Nasa'i (3353)]
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang sama dari hadits Urwah dari Aisyah, kemudian ia berkata, "Hal ini [apa yang disyaratkan dalam hadits] diamalkan oleh sebagian ahli ilmu dari shahabat, di antaranya Umar, ia berkata, "Apabila seseorang menikah dan disyaratkan oleh si wanita untuk tidak membawanya keluar dari rumahnya maka harus dilaksanakan." Begitu juga halnya pendapat Asy-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq, hanya saja sangat janggal menukilkan bahwa Asy-Syafi'i berpendapat seperti itu, karena yang dikenal dari pengikut Asy-Syafi'i bahwa yang dimaksud syarat itu adalah hal-hal yang menjadi tuntutan dan tujuan dari pernikahan, seperti syarat berhubungan dengan baik, memberi nafkah, tempat tinggal dan tidak lalai dalam memenuhi haknya yang meliputi memberi pakaian dan nafkah, dan juga seperti syaratnya kepada istrinya untuk tidak keluar dari rumah kecuali seizin darinya, dan jangan mempergunakan perkakas rumah tangga dengan tidak semestinya dan lain-lainnya.
Saya katakan, "Kalau syarat-syarat seperti ini yang mereka maksud dari hadits, maka faedah hadits itu menjadi sangat sedikit. Sebab, semua itu merupakan hal-hal yang harus dilakukan bagi yang menikah dan tidak perlu disyaratkan. Kalau bukan itu yang mereka maksud. lalu adakah maksud yang lain? Ya, jikalau dia mensyaratkan dengan apa-apa yang menurutnya bisa membatalkan pernikahan seperti tidak boleh berpoligami, tidak boleh membeli budak wanita; maka hal tidak wajib dilaksanakan. At-Tirmidzi berkata, "Ali Radhiyallahu Anhu berkata, "Syarat dari Allah harus lebih dahulu dilaksanakan daripada syarat wanita tersebut."
Yang dimaksud syarat-syarat dalam hadits adalah syarat yang boleh dan tidak dilarang syari'at. Kalau dia mensyaratkan tidak boleh dibawa keluar dari rumah keluarganya, maka syarat ini tidak dilarang dan boleh dipenuhi.

BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1)Taklik talak, dan
2)Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pasal 46
(1)Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam
(2)Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama
(3)Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disyahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2)Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3)Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas , boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1)Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2)Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketetapan tersebut pada ayat (1) dianggap telah terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban menanggung biaya rumah tangga.
Pasal 49
(1)Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masingmasing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan
(2)Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat pula diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga pencampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1)Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihakdan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3)Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat.
(3)Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman itu tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pihak ketiga.
(4)Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajikannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
•Hadits إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ  berkaitan dengan ayat فَلَمَّا قَضَى مُوسَى الأجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لأهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ جَذْوَةٍ مِنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ
•Ada 5 hadits setema yang tercantum di beberapa kitab hadits, yakni Sunan Ibnu Majah, Sunan an-Nasai, Sunan ad-Darimi, Sunan Abi Daud dan Sunan Ibnu Hibban.
•Hadits diatas berkaitan dengan KHI bab VII tentang Perjanjian Perkawinan dari pasal 45 sampai 51.

0 komentar

Posting Komentar