Rabu, 15 Maret 2017

Wara' (Tasawuf)

A. PENDAHULUAN
Dalam dunia sufi, tentu erat kaitannya dengan tasawuf, yang mana tasawuf merupakan satu cabang keilmuan dalam islam, atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah saw meninggal dunia.
Sebagaimana bahwa tasawuf adalah bagian dari syari’at islam, maka sudah barang tentu semua hal yang berkaitan dengan perilaku sufistik didasarkan kepada al-Qur’an , al-Hadis dan perilaku sahabat Nabi saw, baik yang menyangkut tingkatan (maqam) maupun keadaan jiwa (hal).
Berbicara mengenai tasawuf tidak bisa terlepas dari istilah maqamat. Maqamat merupakan sarana spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Maqamat merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan.
Dalam salah satu maqamat tasawuf terdapat istilah wara’. Wara ialah meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya (subhat), sedangkan dalam tradisi sufi wara berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Secara harfiah kata wara` berarti shaleh, menjauhkan diri dari segala tindakan yang berbau tidak baik atau dosa.  Wara` bermakna memelihara diri dari yang diharamkan dan dari hal-hal yang syubhat. Wara` juga dimaknai dengan tidak hidup berfoya-foya, tidak dengan membanggakan dirinya kepada orang lain.
Al – wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang mengandung kesamaran (syubhat) di dalamnya.  Berkenaan dengan hal itu, sesuai dengan kitab Allah, Al qur’anul karim, diantaranya adalah sebuah hadis yang diriwatkan oleh Imam Bukhoari dan Imam Muslim:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُعَانِ ابْن بَشِيْرِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنُ وَإِنَّ اْلحَراَمَ بَيِّنُ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتْ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرَ مِنَ النَّاسِ.
Artinya :
Abu Abdullah Nu’man ibn Bayir meriwayatkan bahwasanya Rosullallah bersabda, “ Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram itu itu  jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara – perkara subhat yang tidak diketahui oleh banyak orang.
Al – Hasan ibn Ali R.A berkata :
حَفظت مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ : دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ.
Artinya :
“Aku telah menghafal sabda Rsulullah SWA., “ Tinggalkanlah apa – apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa – apa yang tidak meragukanmu.”
Al – wara’ adalah kehati – hatian dalam perkatan, hati sannubari dan perbuatan. Dalam perkataan adalah menahan diri dari ucapan sia – sia yang tiada manfaatnya dan membuang – buang waktu saja.
Banyak dari kalangan imam yang mengartikan tentang wara’
a. Al – Qusyairi Rahimahumullah berkata:
أَمَّا الْوَراَعُ فَإِنَّهُ تَـــــــــــــــــــــــــــــــــــــرْكُ الشُّبْهَــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــات
Artinya :
“ adapun al – wara’ artinya meninggalkan segala yang subhat.”
b. Ibrahim ibn Adham Rahimahumullah berkata :
الْوَرَاعُ تَـــــــــرْكُ كُلِّ شُبْهَة وَتَــــــرْكُ مَالَا يُعْنِيْكَ
Artinya :
` “ Al – wara’ adalah meninggalkan segala yang kesubhatan dan yang tidak pasti ( yang tidak di kehendaki), yakni meninggalkan hal – hal yang tidak berfaedah.”
c. Abu Salaiman Ad – Darani Rahimahumullah berkata :
اْلوَرَاعُ أَوَّلُ اْلزُهـْــــد ِكَمَا أن ألقـــــــَـــاعَة طَرْفُ مِنَ الرِّضَا
Artinya :
“ Al – wara’ merupakan permulaan zuhud sebagaimana al – qona’ah merupakan akhir dari keridaan.”
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan Wara` adalah perilaku menjaga diri dari semua perkara yang tercela sebagai jalan mendekatkn diri kepada Allah SWT. Bagi kaum sufi, Wara` dimaknai sebagai suatu tindakan manusia yang selalu menjauhi perilaku-perilaku yang didalamnya terdapat Syubhat, yakni sesuatu yang mengandung keragu-raguan antara halal dan haram. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku sufi, Wara` ini akan terlihat dari perilaku mereka yang tidak bersedia makan dan minum sembarangan tempat, tidak jelas halal dan haramnya, serat tidak tahu sumbernya. Semua kehati-hatian seperti ini mereka lakukan karena mereka sangat percaya, bahwa apapun yang dimakan seseorang akan mempengaruhi Si pemakannya.
Oleh karena itu Para sufi sangat berhati-hati dalam memilih dan menentukan jenis makanan yang akan dimakanya agar hati tidak menjadi gelap dan keras, sehingga sulit untuk bisa dekat dengan Tuhan Maha Pencipta. Para sufi juga sangat menakuti dan menjauhi hal yang syubhat, karena menjadikan hatinya kotor sehingga menghalangi pencarian nur Illahi pada dirinya.
Menjadikan perilaku Wara` niscaya seseorang akan selalu memperhitungkan terhadap sekecil apapun keburukan yang dapat menghalangi kedekatanya dengan Tuhannya. Dengan demikian perilaku Wara` ini membuat seseorang selalu berbuat hati-hati dalam mencari nafkah dan pendirian fasilitas kebutuhan dasarnya, seperti pangan dan sandang. Sifat kehati-hatian ini memungkinkan terhindar dari sifat rakus, iri, dan sebagainya yang pada akhirnya terhindar dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hokum agama. Sehingga orang yang didalam dirinya memiliki sifat wara` senantiasa akan menjadi hamba yang dekat dengan Allah SWT.

2. Dalil Tentang Wara’
a. Di Riwayatkan oleh Abu Dzar Ai-Ghiffari, bahwa Rosulullah Saw bersabda:
مِنْ حُسْنِ اِسْلاَمِ اْلمَرْءِ تَرْكُهُ مًا لًا يًعْنِيْه.ِ
Artinya :
“Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti”. (H.r. Malik bin Anas, Tirmidzi  dan Ibnu Majah).
b. Di Riwayatkan oleh Abu Hurairah,  bahwa Rosulullah Saw bersabda:
كُنْ وَرَعاً، تَكُنْ أَعْبَدَ النًّاسِ.
Artinya :
“Bersikaplah wara’ niscaya kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah diantara ummat manusia”. (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).
c. Di riwayatkan oleh Imam Bukhoari dan Imam Muslim:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُعَانِ ابْن بَشِيْر قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
 إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنُ وَإِنَّ اْلحَراَمَ بَيِّنُ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتْ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرَ مِنَ النَّاسِ.
.
Artinya :
“Abu Abdullah Nu’man ibn Bayir meriwayatkan bahwasanya Rosullallah bersabda, “ Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram itu itu  jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara – perkara subhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
d. Al – Hasan ibn Ali R.A berkata :
حَفِظْت مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُكَ.
Artinya :
“Aku telah menghafal sabda Rsulullah SWA., “ Tinggalkanlah apa – apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa – apa yang tidak meragukanmu.”

3. CIRI-CIRI WARA`
Barang siapa mempunyai sikap wara` dia harus mempunyai sikap qana’ah (tidak tamak), menjauhi israf, serta menjauhi kecondongan bisikan hawa nafsu. Tidak adanya sikap wara` pada diri seseorang disebabkan adanya sikap tamak atau mengikuti hawa nafsu, dan adanya angan-angan terlalu panjang hingga lupa dalam melihat bahwa dunia hanya sebagai stasiun transit dalam menuju statsiun terakhir, yaitu akhirat.
Salah satu ciri orang yang terkena penyakit cinta dunia adalah adanya sikap thuulul `amal, sikap ini tumbuh subur  pada diri seseorang kala Ia melihat dunia dengan penglihatan kagum. Berkaitan dengan amal, Syeikh Haddad membagi manusia menjadi tiga kelompok:
a. Al-sabiqun
Adalah orang yang tidak mempunyai amal sama sekali. Golongan ini merasakan bahwa kematian terlalu dekat. Oleh karena itu mereka selalu menyiapkan diri dengan mengosongkan hati dari segala sesuatu yang berkaitan dengan kesibukan dunia yang dapat memalingkannya dari Allah.

b. Al-muqtashidun
Adalah mereka yang memiliki angan-angan yang pendek terhadap dunia, yang tidak menyebabkan Ia lalai dengan amal tersebut terhadap Allah dan hari akhir.
c. Al-maghrurun
Adalah orang-arang yang terlalu panjang angan-angannya terhadap dunia hingga lalai kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian ini adalah sikap yang terlarang dalam agama.

4. Pembagian Wara`
Ulama` sufi membagi wara` dalam beberapa  tingkatan. Yahya bin Ma`adz berpendapat bahwa wara` itu ada dua tingkat:
pertama, wara` segi lahir yaitu sikap yang mengisaratkan bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah SWT. kedua, wara` batin, yakni sikap yang menisaratkan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang memasuki hatimu, kecuali Allah Ta`ala.
5. Contoh Dan Manfaat Dari Sikap Wara’
Syeikh Haddad memaparkan beberapa contoh sikap wara` para salaf, diantaranya.
a. Sufyan Al-Tsauri
Bila tidak menemukan makanan yang halal dan bersih, Dia kadang-kadang rela untuk tidak makan berhari-hari.
b. Ibn Al-Mubarak
 Kembali ke Khurasan ke Syam hanya karena lupa mengembalikan pulpen yang Ia pinjam dari temannya.
c. Ibrahim bin Adham
 Kembali dari Al-Quds (Palestina) ke Basyrah (Irak) hanya untuk mengembalikan satu kurma yang ada pada kurma yang dibeli, karena satu biji kurma itu tidak termasuk yang ditimbang dan dibelinya.

Akibat seseorang memiliki sifat wara`:
a) Menjadikan hati bercahaya dan peka terhadap yang baik.
b) Menimbulkan rasa takut dan khusyuk karena-Nya.
c) Memberikan dorongan suci dalam hati untuk melakukan ketaatan atau ibadah.
d) Membebaska seseorang dari tipuan dunia dan cinta pada akhirat.
e) Menjadi faktor terpenting dalam terkabulnya amal dan doa.


 PENUTUP
Kita tahu semua bahwa islam telah memberikan jalan yang lurus, terang benderang untuk menuju sebuah kehidupan yang mulia, kehidupan yang menekankan bahwa hidup ini diperuntukkan untuk Allah sang pencipta semata. Dan jalan menuju keridahaan Allah tersebut ditempuh salah satunya dengan cara tasawuf.
Dalam tasawuf terdapat berbagai macam maqamat yang akan mengantarkan manusia sampai pada titik insan kamil, salah satu maqamat yang dikatakan cukup sulit dalam pemabahasan tersebut di atas adalah wara’. Wara merupakan maqamat dalam tasawuf yang mengharuskan manusia harus sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan baik secara lahir maupun batin, karena pada dasarnya Wara merupakan jalan untuk menghindari yang subhat agar betul-betul selamat dari kehidupan baik dunia maupun akhirat.

DAFATAR PUSTAKA
Amril, Akhlak Tasawuf, Bandung: Refika Aditama, 2015
Nasharuddin, Akhlak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam,Bandung; CV PUSTAKA SETIA, 2001
Qusyairi, Risalatul Qusyairiyah, (Surabaya: Risalah Gusti
Umar, Thariqah Alawiyah, Bandung: Mizan Media Utama, 2001
Tamami, Psikologi Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011

0 komentar

Posting Komentar