Senin, 06 Maret 2017

Maqashid Syariah

BAB I
Pendahuluan
a. Latar belakang

Islam diturunkan ke bumi dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang diperuntukkan untuk manusia, yaitu berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang kontrek yang ditujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolekti kemasyarakatan (sosial).
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum islam atau maqasid syari’ah merupakan pembahasan penting dalam hukum islam yang tidak luput dari perhatian ulama’ serta pakar hukum islam. Bila diteliti perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu pula perintah dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyain tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia. Pada pembahasan kali ini penulis akan membahas tentang Maqashid al-Syari’ah, Hakikatnya dan pembagiannya.

b. Rumusan masalah
1. Apa itu maqashid syari’ah ?
2. Pembagian maqashid syari’ah

BAB II
PEMBAHASAN

       1. Pengertian Maqashid Syariah

a.       Secara Bahasa
Kata syariat berasal darai “syara’a as-syai” dengan arti; menjelaskan sesuatu. Atau ia diambil dari “asy-syir’ah” dan “asy-syariah” dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang yang datang kesana tidak memerlukan adanya alat.
Dalam “mufrodat Al-Qur’an.” Ar-Raghib Al-Asfahani menulis bahwa “Asy-syar adalah jalan yang jelas. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegang teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
b.      Secara Istilah
Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah “Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkankepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia”
Al Khadimi “Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”.
 Dr. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya).
Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama.  Atau hukum agama yang ditetapakan dan diperintahkan oleh Allah.  Maqashid syariah” adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah,larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat.
Maksud-maksud juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan
ditetapkannya hukum.

Maqashid al-syari’ah dalam arti Maqashid al-Syari’, mengandung empat aspek. Keempat aspek itu adalah :
a.       Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
b.      Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c.       Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan
d.      Tujuan syariat adalah membawa ke bawah naungan hukum.

            Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang disebut dengan istilah daruriyattersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus dipelihara oleh hukum islam. Kepentingan-kepentingan yang harus dipelihara itu adalah :

A.    Perlindungan Terhadap Agama

Perlindungan agama ini merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agam merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap Muslin serta akhlak yang merupakan sikap hidup seorang Muslim. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh  Al-Bukhari yang diambil dari jalur Masruq dari Abdullah, bahwasanya Rosullah bersabda:
لا يحلّ دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّي رسول الله إلاّ بإحدى ثلا ث النّفس باالنّس والثّيّب الزّاني والمارق من الدّين التّارك للجماعة
                        Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal; jiwa dengan jiwa(membunuh dihukum mati), orang yang telah menikah berzina, dan orang yang murtad dari agama (islam) karena meninggalkan sholat jamaah.
                        Berdasarkkan hadits diatas sudah sangat jelas sekali bahwasanya Allah melindungi orang-orang yang berada dalam agamaNya. Jadi orang-orang yang berada dalam agama islam haram baginya darahnya atau haram baginya untuk membunuhnya.
Dan dilain pihak juga islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya manuju agama atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah keyakinannya untuk masuk islam.
Dasar hak ini sesuai firman Allah
لا اكراه فى الدين قد تبيّن الرّشد من الغي
Tidak ada paksaan untuk (mamasuki) agama (islam), sesunguhnya telah jelas yang benar daripada jalan yang sesat.(QS.Al-Baqarah(2): 256).
            Mengenai tafsir ayat ini Ibnu katsir mengungkapkan,” Janganlah kalian memaksa seseorang untuk memasuki agama islam. Sesungguhnya dalil dan bukti akan hal itu sangat jelas dan gamblang, bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama islam.”
            Asbabun nuzul ayat ini(sebagimana dikatakan para ulama ahli tafsir) menjelaskan kepada kita suatu sisi mengagumkan agama ini( islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia bersumpah kepada dirinya, bahwa bila dikarunia seorang anak, dia akan menjadikannya seorang yahudi ( hal seperti ini dilakukan oleh wanita dari kaum ashar pada masa jahiliah), lalu ketika ,umcul Bani Nadhir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum ashar. Maka bapak-bapak mereka berkata,” kami tidak akan menbiarkan anak-anak kami; memeluk agama yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini.
            Atas peristiwa yang terjadi ini, Al-qur’an tetap menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi mata hatinya, lalau orang itu akan masuk islam dengan bukti dan hujjah.  Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan penglihatannya ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mareka masuk islam dalam keadaan dipaksa.

     2.      Perlindungan Terhadap Nyawa

Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum islam melarang pembunuhan sebagai uoaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10H, Nabi SAW menuju kepadang arafah, di sana beliau berkhutbah, yang intinya bahwa islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak empat belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia secara komprehensif dan mendalam.  Islm mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut.  Islam membentuk masyarakatnya di atas fondasi dan dasar yag menguatkan dan memperkokoh hak-hak asasi manusia.
            Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan Islam adalah hak  hidup. Maka tidak mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber kerusakan/ kehancuran.  Alllah berfirman,
ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu (QS.An-Nisa;29)

Al-Bukhori dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Abu Hurairah, bahwasanya Rasullah bersabda:
من تردّ من جبل فقتل نفسه  فهو في نار جهنم يتردّ فيه خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن تحسى سما     فسمه في يده يتحساه في نار جهنم خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يجأ بها في بطنه في نار جهنم خا لدا مخلدا فيها أبدا
Artinya : barang siapa yang menjatuhkan diri dari gunung, lalu dia mati maka di neraka jahannam dia akan mejatuhkan diri dia kekal dan dikekalkan di dalamnya. Dan barang siapa yang minum racun, lalu dia mati maka dia akan menghirup racun tersebut di neraka jahannam dia kekakl dan dikekalkan didalamnya. Dan barang siapa yang bunuh diri dengan menggunakan potongan besi maka di neraka jahannam besi itu akan berada di tangannya lalu dia akan memukul sendiri perutnya dengan besi tersebut dia kekal dan dikekalkan di dalamnya selamanya.
            Hal ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencanut ruh manusia. Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan, dan dia sajalah yang mematikannya. Dialah sang pencipta kehidupan dan kematian.
            Syekh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi mengatakan :
Kita tidak menyaksiakan penciptaan makhluk, namun setiap hari kita menyaksikan kematian, dan hal ini merupakan hal yang sudah kita ketahui bersama. Merusak segala sesuatu berarti kebalikan dari menciptakannya. Maka bagaimana manusia diperkenankan merusak sesuatu yang dibangun (diciptakan) Allah? Dalam penjelasannya firman Allah pada surat Q.S Asy-syura 77-82 :
فا انهم عدو لي الا رب العالمين ۩ الذي  خلقني فهو يهدين ۩ والذي هو يطعمني و يسقين۩ واذا مرضت فهو يشفين ۩والذي يميتني ثم يحيين ۩ والذي اطمع أن يغفر لي خطئتي يوم الدين 
Artinya : karena sesunggunya apa yang kamu sembah itu adalah musuh ku kecuali dan semesta alam ( Tuhan) yang telah mencipatkan aku, maka dialah yang menunjuk aku dan Tuhan ku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit dialah yang menyembuhkan aku dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) dan yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahan ku pada hari kiamat (asyura)
            Ada perbedaan anatra pembunuhan dan kematian (biasa.wajar). pembunuhan tidaklah sama dengan kematian, karena oembunuhan berarti merusak struktur tubuh yang menyebabkan keluarnya ruh-ruh hanya akan berada dalam tubuh yang sehat dengan spesifikasi-spesifiaksi khusus, karena itulah  Allah berfirman mengenai Rasulullah dalam Al-Qur;an terda[at pada surat Al-Imran :144
وما محمد الا قد خمت من قبله الرسول أفاءين مات أو قتل انقلبتم علي أعقبكم ومن ينقلب علي عقيبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشكرين
Muhahammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguhtelah berlalu sebelumnya bebarapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad), barang siapa yang berbalik ke belakangm maka ia tidak dapat mendatangkanmudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
            adapun kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh, dengan struktur tubuh dalam keadaan sehat, dan hanya Allah-lah yang mematikan. Sedang pembunuhan dapat dilakukan manusia dengan menggunakan alat tajam atau dengan tembakau peluru.

     3.      Perlindungan terhadap Akal
 Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahay matahari, dan media kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah disampaikan, dengannya pula manusia berhak pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya. Allah swt berfirman dalam surat al- Isra’ :70 :
ولقد كرمنا بني أدم وحملنهم في البر و البحر ورزقهم من الطيبت وفضلنهم علي كثير ممن خلقنا تفضيلا    

      dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kmai lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
            Andai tanpa akal,  manusia tidak berhak mendaptkan pemuliaan yang bisa mengangkatnya menuju barisan para malaikat. Dengan akal, manusia naik menuju alam para malaikat yang luhur. Karena itulah, akal         poros pembenahan pada diri manusia. Dengannya, manusia akan mendapatkan pahala dan berhak mendapat siksa. Balasan di dunia dan di akhirat berdasarkan akal dan kekuatan pengetahuan. Nikmat dalam diri manusia ini membukakannya cakrawala kehiduoan, dia bisa menapaki penjuru bumi dan menyelam di bawah kedalamannya, serta menungganga udara. Sebagaiman yang telah disabdkana oleh sabda Nabi Nabi Muhammad SAW : wahai manusia, sesungguhnya setiap sesuatu memiliki anugerah, dan anugerah seseorag adalah akalnya. Dan orang yang paling baik petunjuk dan pengetahuannya mengani hujjah di antara kalian adalah orang yang paling mulia amalnya.
            Melalui akalnya manusia, manusia mendapatkan petunjuk menuju malrifat kepada Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan Allah kepada mereja, membawa kabar gembira untuk mereka dengan jani, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusia mengopersikan akal mereka, mempelajari yang hala dan yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan buruk.
            Setiap kali manusia mengoperasikan pikiran dan aklanya, menggunakan mata hati dan perhatiannya, maka dia akan memperoleh rasa mana, merasakan kedamaian dan ketenagan, dan masyarakat tempat dia hidup pun akan di dominasi oleh suasana yang penuh dengan rasa sayang, cinta, dan ketengangan. Manusia pun merasakan aman aras harta, jiwa, kehormatan, dan kemerdekaan mereka.
            Akal dinamakan عقل  (ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah pemilinya untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Dinamakan demikian, karen akal pun menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu yang sudah tidak terjendali, sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak melarikan diri saat berlari.karena itulah Amir bin Abdul Qais berkata :
اذا عقلك عقلك عما لا ينيغي فأنت عاقل    
Jika akal mengikat mengikatmu dari sesuatu yang tidak sempurnam amka anda adalah orang yang berakal.
Diriwayatkan juga dari Nsbi SAW :
العقل نوؤ غي قلب يفرق به بين الحق و البطل  
Akal adalah cahaya dalam hati yang membedakan  antara perkara yang haq dan perkara  yang bathil.
            Orang yang memerhatikan dengan mata hati dan cahaya iman, serta merenungkan dunia saat ini, juga peristiwa dan perubahan yang terjadi, maka dia akan mrndapati bahwa mayoritas umat yang maju dan berperadaban adalah mereka yang membuka medan kehidupan di depan akal, lalu melepaskannya dari semua ikatanm membuka tutup dan penghalangnya, menyingkarkan semua rintangan dan tembok, memcahkan dan melepaskan tali serta batasan di depan kekuatan yang sangat besar, yakni dengan perhatian, pikran, pembahasan, dan ilmu.

4.      Perlindungan terhadap harta benda

harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di aman manusia tidak akan bisa terpisah darinya.
المال و البنون زينة الحيوة الدنيا         
harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi : 46)
            manusia termotivasi untk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia todak boleh berdiri sebagai pengahalang antar dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta yang dikumpulkannya dengan cara yang halal, diprgunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
            Cara menghasilkan harta tersebut adalah dengan cara bekerja dan mewaris, maka seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, karena Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ : 29
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أمولكم بينكم با البطل الا أن تكون تجارة عن ترض منكم     
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
            Apabila seseorang meminjamkan hartanya kepada orang lain dalam bentuk utang, maka ia bisa memilih salah satu di antara tiga kemungkinan berikut :
Meminta kembali hartanya tanpa tambahan.
Apabila tidak bisa mendapatkannya maka dia harus bersabar dan tidak membebaninya dengan melakukan tagihan.
Apabila orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, dia dapat menyedahkan pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau payah, karena nikmat harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi, tidak untuk bersikap antipati.
Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut :
Pertama, memliki hak untuk di jaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian, perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum muslimin atau nonmuslim ) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu, atau memonopoli.
Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur mubazir atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini tidak dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi.
      Dalam islam, harta adalah harta Allah yang dititipkan-Nya pada alam sebagai anugerah ilahi, yang diawasi dan ditundukkan-Nya untuk manusia seluruhnya.  Dan pada kenyataannya, dengan harta, jalan dapat disatukan, dan kedudukan yang manusia raih, serta pangkat yang mereka dapatkan dari harta, yakni harta dan hak Allah seperti yang telah ditetapkan islam adalh hak masyarakat, bukan hak kelompok, golongan, atau starata tertentu. Ia adalah harta Allah yang yang ditunjuk-Nya sebagai khalifah adalah manusia.
Melindungi dan tidak menganiaya harta serta mengambilnya dengan cara yang bathil  :
1.      Hukum Risywah (suap) dalam islam
Risywah adalah memperdagangkan dan mengeksploitasi tugas atau sebuah pekerjaan untuk mrnghasilkan harta secara batil. Perbuatan ini adalah haram dan dilarang oleh islam, karena hal ini termasuk perkara yang dilarang.
2.      Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta orang lain tanpa hak dan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemiliknya.
3.      Riba
Riba adalah kelebihan harta tanpa imbalan atau ganti yang disyariatkan, yang terjadi dalam sebuah transaksi (akad) dan hal tersebut hukumnya haram.

 5.      Perlindungan terhadap Keturunan

 Maksud ini Islam mensyariatkan larangan perzinaan, munuduh zina, terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya.
Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi, dan larangan berzina yang terdapat dalam surat al-isra’ : 32
ولا تقربو الزني انه كان فحسة وساء سبيلا   

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini di atur lebih rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
.    Maqashid Syari'ah Modern Ibnu 'Asyur (pakar Maqashid dari Tunis,Tunisia)

            Kebangkitan maqashid modern  ini ditandai dengan dicetaknya kitab al-Muwâfaqâtuntuk pertama kali di Tunisia tahun 1884 M. serta perkenalan Muhammad Abduh denganya ketika beliau ke Tunisia tepat pada tahun ia dicetak (1884 M.). Pada tahun 1909 M. kembali dicetak di Kazan, salah satu kota terbesar di Rusia, kemudian di Mesir pada tahun 1922 M. dengan ta’lîq (komentar) juz 1 dan 2 oleh Syekh Khudlari Husain Ali dan juz 3 dan 4 oleh Syekh Hasanain Makhluf. Dari Mesir kitab kemudian menyebar ke penjuru Jazirah Arabia. Kemudian, sederhananya, terjadilah dialektika intens antara ulama modern di berbagai penjuru dunia dengan al-Syathibi melalui al-Muwâfaqt-nya. Dari rentetan dialektis ini lahirlah fase baru, fase kebangkitan ilmu maqâshid al-syarî’ah di era moden.

               Di Tunisia sendiri, tempat al-Muâfaqât pertama kali dicetak, sebagaimana menurut Ahmad Raisuni (tokoh maqashid kontemporer asal Maroko) pengaruh kitab ini cenderung lebih besar dan cepat hingga mampu menciptalah iklim yang penuh dengan perbincangan maqashid. Iklim yang sangat terpengaruhi oleh al-Muwâfaqât dan penuh perbincangan maqashid ini yang kemudian melahirkan tokoh maqashid  modern Tunisia, Muhammad Thahir bin Asyur (w. 1973 M.) dengan masterpiece-nya maqashid al-syariah al-islamiyah.

            Awal perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang cantik: Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik, tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an abad ke-20 M.

               Berikiutnya ia kembali mengarang kitab kecil lain dengan perhatian terhadap maqashid lebih kuat daripada kitab yang pertama. Dianatara fasal dalam kitab tersebut adalah: Maqâshi al-Syarî’ah fî Tashrîf al-Anwâl dan Hal al-Waqfu Mashlahah aw Mafsadah. Kitab ini lahir sebagai respon sekaligus defensi dari serangan-serangan pihak kolonial di berbagai belahan Dunia Islam terhadap sistem ekonomi Islam, khususnya sistem wakaf. Dalam kitab ini muncul untuk pertama kali pemikiran maqashid khâshah (khusus) yang merupakan salah satu bentuk inovasi beliau. Maqashid khusus ini—perspektifnya-- tingkatanya diatas maqashid juz’iyyah (parsial) dan lebih luas dimensinnya, namun dibawah maqashid kulliyah (universal) dan lebih sempit dimensinya.

                Kematangan pemikiran maqashid beliau adalah dalam masterpiece-nya yakniMaqashid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah yang dikarang di akhir tahun 30-an dan muncul kepermukaan (red: dicetak) pada awal tahun 40-an. Dalam kitab inilah banyak ditemukan pembaharuan maqashid Ibnu Asyur semisal seperti maqashid ‘âmah (umum), dsb.

              Sebagaimana dikatakan sdr. Andre bahwa kitab ini lebih sebagai basis teoritisnya sedang aplikasinya lebih banyak beliau tuangkan dalam semisal tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr-nya. Diantara faktor kematangan pemikiran maqashid beliau adalah faktor kemesraannya dengan al-Muwâfaqât yakni karena kitab Maqashid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah ini dikarang disela-sela beliau sedang mengajarkan al-Muwåfaqât di Universitas Az-Zaituna Tunisia—ia merupakan ulama pertama yang mengajarkan al-Muwafaqât dan yang pertama mengajar maqashid jenjang Universitas. Dari proses mengajar inilah beliau banyak memberikan tambahan (red: pembaharuan) pemikiran maqashid.

C.     Definisi maqashid syariah menurut Ibnu Asyur

            Sebelum masuk lebih jauh ke dalam makalah rekan Andre memaparkan seputar pendefinisian maqashid. Menurutnya, mayoritas ssarjana maqashid modern sepakat bahwa pendefinisiannya secara jelas dan komprehensif-protektif (jâmi’-mâni’) baru dilakukan di tangan sarjana maqashid modern, dan Ibnu Asyur adalah yang pertama mendefinisikannya. Ibnu Asyur membagi maqshid syari’ah menjadi dua: ‘âmah (umum) dan khâshah (khusus). Dan masing-masing memiliki definisinya.

Maqashid syariah amah:
المعا ني والحكم الملحوظة للشارع  في الجميع احوال التشريع او معظمها بحيث لا تختص ملاحظتها بالكون في نوع خاص من احكام الشريعة
“Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan Tuhan dalam semua ketentuan syariat, atau sebagian besarnya sekira tak terkhusus dalam satu macam hukum syariat.”
Maqashid al-syariah al-khasah
الكيفيات المقصودة للشارع لتحقيق مقاصد الناس النافعة, او لحفظ مصالحهم العامة في تصرفاتهم الخاصة
“Hal-hal yang dikehendaki Tuhan untuk merealisasikan tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum mereka dalam tindakan-tindakan mereka yang khusus”

D.    Sekilas pemikiran Maqashid Ibnu Asyur

Menurut pemakalah, dengan porsi peninjauan lebih banyak terhadap kitabMaqâshid al-Syari’ah al-Islâmiyyah Ibnu Asyur, bahwa metode penulisan Ibnu Asyur dalam kitab Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyah adalah dengan mssssembagi pembahasan dalam tiga kerangka besar.

Pertama, pembahasan mengenai penetapan tujuan syariat (itsbât al-maqâshid al-syarî’ah), kebutuhan seorang faqîh (pakar hukum fikih) untuk mengetahui maqashid, metode-metode penetapannya dan tingkatan-tingkatannya (thurûqu itsbâtihâ wa marâtibihâ); Kedua, membahas maqashid syari’ah ‘âmah (umum); ketiga, membahas  maqashid syari’ah khâshah (khusus) dengan segala macam kontekstualisasinya dalam ranah fiqih muamalat (yurisprudensi transaksi ).

Sebelum masuk pembahasan inti Ibnu Asyur menjelaskan bahwa seorang mujtahid sebelum merumuskan maqasid harus menguasai beberapa hal diantaranya: dapat memahami teks dengan baik menggunakan perangkat linguistik; meneliti dan melacak dalil-dalil lain yang sekiranya berpotensi terjadi pertentangan (ta‘arudl); mampu melakukan qiyas; sanggup berijtihad untuk menentukan hukum permasalahan khusus yang sama sekali belum ditemui sebelumnya (kontemporer), baik dikarenakan ketiadaan dalil maupun karena sulitnya melakukan qiyas; terakhir, barulah diperkenankanmenerima teks apa adanya bilamana segala upaya untuk mengetahui ratio-legis dari permasalahan tersebut dirasa mentok, maupun oleh sebab sulitnya menyingkap maqashid (tujuan) dibalik pensyariatannya. Inilah yang disebut dengan “amrun ta‘abbudi”.Dr. Ismail Hasani dalam buku Nadhariyyah al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Tahâhir bin ‘Âsyur mengemukakan konsep-konsep dasar yang menjadi basis atau titik tolak teori maqashid Ibnu Asyur. Ada tiga konsep yang membasisi teori maqashidnya: Pertama, al-fithrah yang beliau sebut sebagai al-khilqah, yakni “sistem yang diciptakan oleh Allah dalam setiap makhluk”, yang dengannya ia mampu melaksanakan titah syariat. Relasi al-fithrah nantinya dengan al-samahah (toleransi), al-musâwah (egaliter) dll. Kedua, al-Mashlahah (kemaslahatan), tercermin dalam  jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid.Ketiga, al-ta’lîl atau konsep tentang ‘illah atau alasan suatu hukum, yang darinya bisa tersingkap tujuan syari’at. Pemikiran maqashid Ibnu Asyru terbangun diatas prinsip ini, bahwa merupakan keharusan menerima konsep ta’lil. Sederhananya, teori maqashid Ibnu Asyur “bertolak-pijak” dari ketiga konsep dasar tersebut.

Masih berdasar penelitian Dr. Ismail Hasani bahwa ada tiga perangkat prosedural yang menjadi basis konstruk pemikiran maqashid Ibnu Asyur kaitannya dengan penetapan maqashid, baik yang ‘âmah maupun yang khâshah.Tiga perangkat prosedural ini yang berikutnya menjadi tumpuan teorinnya yang diantaranya: maqashid adakalanya bersifatqath’i (definitif), dlanniy (asumtif) dan dlanniy tapi mendekati qath’iy; maqashid ‘âmahdan khâshah, dll. Ketiga perangkat tersebut adalah: al-maqâm, al-istiqrâ’ dan membedakan antara wasilah dan tujuan dalam aplikasi hukum fikih.

Yang dimaksud maqam sendiri adalah makna konteks. Ketika teks dipahami secara tekstual maka makna yang dipahami tersebut adalah makna teks, sedang makna konteks adalah makna yang dipahami dari makna teks tersebut dengan berbagai pertimbangan seperti lingustik, sosio-kultur, dll. Maqâm terbagi menjadi dua: maqâm al-maqâl(konteks bahasa) dan maqâm al-hâl (konteks sosio-kultur). Dalam upaya memahami maqashid syari’ah seseorang tak boleh terlepas dari kedua konteks tersebut. Artinya, penetapan maqashid yang terkandung dalam teks harus melalui pertimbangan sosial politik dan budaya dimana teks itu muncul dan kekinian serta mempertimbangkan konteks bahasanya dengan melibatkan ilmu ushul fiqih, balaghah (sastra), dan lingustik.

Kedua adalah istiqrâ’ al-ushliy atau penelitian ikduftif perpektif ulama ushul fikih, bukan perpektif mantik Aristo. Yakni penelitian terhadap sebagian untuk digeneralisir hukumnya secara umum. Maksudnya, penetapan maqashid harus melalu peneletian induktif tersebut terhadap teks-teks syari’at. Tidak harus keseluruhan namun cukup meneliti sebagian. Dari sinilah pemikiran Ibnu Asyur tentang maqashid “definitif”, “asumtif” dan “mendekati definitif” itu lahir. Yakni, “definitif”, “asumtif”, “mendekati defitif” dan tidaknya tergantung komprehensif/kuat dan tidaknya penelitian tersebut. Semakin komprehensif penelitiannya maka semakin definitif pula maqashid yang dihasilkan. Begitu pun sebaliknya.

Berdasar istirâ’ inilah kemudian Ibnu Asyur mampu menelurkan maqashi umum al-Qur’an yang ada delapan  dan maqashid khusus (kedelapan maqashid umum al-Qur’an dan maqashid  khusus ini telah dihimpun oleh Dr. Ismail Hasani dalam kitabnya di atas).
E.     Maqashid syariah menurut Jamaludin Athiyyah
1.      Menjaga jiwa
Dalam menjaga jiwa disini Islam melarang untuk membunuh jiwa manusia dan melenyapkan nyawa mereka serta merusak mereka, merusak dan menghancurkannya.
Dari perkara tersebut terdapat konsekuensi yang harus ditanggung karena tindakan melukai seseorang. Diantaranya yang kita ketahui pembunuhan diketegorikn dalam tiga hal:
a.       Pembunuhan tersalah atau Khoto’
Hal ini adalah penganiayayan dengan sebuah tindakan tanpa ada kesengajaan atau niat.
b.      Pembunuhan semi sengaja(syibhul amdi)
Pembunuhan semi sengaja dalam fikih islam sama dengan pemukulan yang menyebabkan kematian dalam fikih barat.
c.       Pembunuhan secara sengaja
Tindakan menganiayaya yang dilakukan orang lain sehingga nyawanya hilang.

BAB III
PENUTUP
     A.    Kesimpulan

Setelah diuraikan konsep maqashid al-syariah menurut al-syatibi adalah tujuan-tujuan disyariatkannya hukum oleh Allah SWT. Yang berintikan kemaslahatan umat manusia di dunia dan kebahagiaan  di akhirat. Setiap persyariatan hukum oleh Allah mengandung maqashid (tujuan-tujuan) yakni kemaslahatan bagi umat manusia. Yakni tujuan persyariatan hukum dalam rangka mewujudkan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Maqashid  syariah persyariatan hukum dalam upaya memberi kemudahan kepada manusia mewujudkan lima unsur pokok tersebut.
Perhatian Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang cantik:Alaisa al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara tekstualis-literalistik, tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an abad ke-20 M.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah. Jakarta : Pustka Al-Kaustar. 2007
Zuhri, Saifudin. Ushul fiqih akal sebagai sumber hukum Islam.. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 2005
Jauhar, Ahmad Al-mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta : Amzah. 2009
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syariah. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 1996

0 komentar

Posting Komentar