Selasa, 19 September 2017

KONSEP TASAWUF AKHLAKI

A. KONSEP TASAWUF AKHLAKI
Suatu rumusan tentang defines/pengertian tasawuf merupakan hal yang tidak mudah dibuat. Keadaan demikian disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap agama, aliran filsafat, dan peradaban dalam berbagai kurun waktu.oleh karena itu, wajar apabila setiap orang menyatakan pengalaman pribadinya dalam konteks pemikiran dan kepercayaan yang berkembang pada masyarakatnya. Di samping itu, juga karena tasawuf adalah aspek esoteric yang menekankan unsur batin yang sangat tergantung pada pengalaman spiritual (ruhani) masing-masing pelaku individu sehingga wajar bila persepsi tentang tasawuf yang muncul dikalangan para sufi sering ditemukan adanya perbedaan-perbedaan.
Para ahli lazim memulai pembahasan dari arti menurut bahasa berdasarkan analisis tentang asal-usul kata “tasawuf” terlebih dahulu. Terdapat berbagai teori tentang asal-usul kata “tashawuf” dimaksud. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Ada teori yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti wol kasar, karena orang-orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan. Kaum sufi ini berusaha menghindari kemaksiatan dan penyelewengan terhadap contoh teladan yang telah diberikan oleh Rasul dan para sahabat. Mereka mengasingkan diri dan tekun dalam ibadah serta lebih mengutamakan masalah kesucian jiwa.
2. Menurut teori lain, kata tasawuf berasal dari akar kata shafa yang berarti bersih. Disebut sufi karena hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya.
3. Berasal dari ahl al-Suffah, yaitu orang-orang yang tinggal disuatu kamar disamping masjid Nabi di Madinah. Mereka adalah orang-orang miskin yang telah kehilangan harta benda karena mengikuti nabi hijrah dari Mekah ke Madinah. Merka tidur diatas batu dengan pelana sebagai bantal. Makan dan minum mereka ditanggung oleh orang-orang yang mampu dalam kota Madinah. Walaupun miskin, mereka merupakan pejuang-pejuang fi-sabilillah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4. Berasal dari kota Sophos. Kata tersebut berasal dari Yunani yang berarti hikmah. Kalau diperhatikan sekilas memang ada hubungan antara orang shufi dengan hikmah karena orang sufi membahas masalah yang mereka persoalkan berdasarkan pembahasan yang falsafati. Mereka berusaha menyucikan jiwa dalam rangka mendekati Tuhan. Mereka berpandangan bahwa Allah itu Maha Suci. Hanya jiwa yang suci yang bisa berhubungan dengan Allah.
5. Adapula yang menghubungkan kata tasawuf dengan shaff pertama dalam sholat berjamaah. Alasannya ialah orang yang sembahyang dishaff pertama mendapatkan kemuliaan dan pahala dari Allah SWT. Kaum sufi pun, menurut pendapat ini dimuliakan dan diberi pahala oleh Allah.
6. Sebagian pendapat bahwa kata tashawuf tersebut berkaitan dengan kata Arab “as shofah”  karena para sufi sangat mementingkan sifat-sifat terpuji dan berusaha keras meninggalkan sifat-sifat tercela.
Sedangkan mengenai pengertian atau ta’rif menurut istilah, tampaknya masih terasa sukar untuk menemukan suatu pengertian yang bersifat jami’ mani’, utuh dan mencakup keseluruhan aspeknya. Beberapa definisi yang ditemukan terlihat hanya menekankan aspek tertentu dan meniadakan aspek lainnya. Al-Juned (w. 296 H), misalnya mengemukakan :“Tasawuf adalah menyucikan  hati sehingga tidak ditimpa suatu kelemahan, menjauhi akhlak alamiah, melenyapkan sifat kemanusiaan, dan menjauhi segala keinginan nafsu.” Definisi ini hanya melukiskan aspek perilaku yang harus dijalani oleh seorang sufi, sebelum menggambarkan aspek lain seperti tujuan tasawuf itu sendiri dalam hubungan dengan Allah SWT.
Tokoh sufi lain, Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) mengemukakan definisinya sebagai berikut : “Tasawuf adalah hanya menerima kebenaran dan tidak mengharapkan apa yang ada  di tangan para makhluk, barangsiapa  yang tidak sanggup menerima kefakiran  berarti tidak berhasil mencapai derajad tasawuf.” Definisi ini juga hanya menonjolkan salah satu aspek, yaitu aspek kefakiran belaka.
Sementara Sahl Ibn Abdullah al-Tusturi mengemukakan definisi sebagai berikut : “Tasawuf adalah mengurangi makan, selalu berada di dekat Allah dan menjauhi manusia.”
Ibrahim Basuni mencoba memberikan sebuah definisi lengkap seperti berikut : “Tasawuf adalah sebagai kebangkitan kesadaran moral yang mengarahkan jiwa yang benar untuk berjuang sehingga dapat mencapai hubungan dengan Wujud Mutlak.”
Dalam sejarah perkembangannya para ahli membagi tasawuf menjadi tiga yaitu pertama, tasawuf yang mengarah kepada teori-teori perilaku yaitu disebut tasawuf akhlaki; kedua, tasawuf yang mengarah kepada teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam yaitu disebut tasawuf falsafi; ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan (ma’rifah) dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaran pun tersingkap lewat ilham, tasawuf ini disebut tasawuf ‘irfani.
Jadi kesimpulannya tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang memuat cara tingkah laku atau amalan-amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berhubungan dengan-Nya. Tasawuf akhlaki sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Tasawuf ini banyak berkembang di dunia Islam terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab syafi’i. adapun ciri-ciri tasawuf akhalaki antara lain :
1. Melandaskan diri pada al-Quran dan al-Sunnah. Tasawuf jenis ini dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya cenderung memakai landasan al-Quran dan Hadits sebagai kerangka pendekatannya.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat (ganjil).
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan anatar Tuhan dengan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, dalam hal esesinya, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda diantaranya keduanya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniah) dengan fikih (sebagai aspek lahiriyah).
5. Lebih terkonsetrasi pada soal pembinaan hati, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latian mental) dan langkah takhali, tahalli, tajalli.


B. OBJEK KAJIAN AKHLAK TASAWUF
Tasawuf merupakan aspek ruhani (esoteris) dalam Islam. Cara mendekatinya pun harus dengan pendekatan ruhaniah. Terkait dengan ini, dikatakan bahwa ada tiga unsur dalam diri manusia, yaitu ruh, akal, dan jasad. Kemuliaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh Ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr[15]: 29 yang artinya, “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Ruh Ilahi inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan ruhani. Dengan demikian, yang menjadi objek kajian tasawuf adalah “jiwa” manusia. Tasawuf membahas tentang sikap jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah Swt. dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Dalam hal ini, tasawuf bertugas membersihkan hati itu dari sifat-sifat buruk dan tercela (al-madzmumah) dalam kaitan hubungan tersebut. Bila hati sudah suci bersih dari kotoran-kotoran, niscaya kehidupan ini akan menjadi baik dan harmoni kehidupan akan terjamin secara stabil.  

Hal ini sesuai dengan Sabda Nabi Saw.:

  ا لاو ان فئ الجسد مظغة اذا صلحت صلح الجسد كله و اذا فسد ت فسد الجسد كله الا ؤ هى القلب
“Ketahuilah bahwa didalam tubuh manusia itu terdapat segumpal darah, apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh tubuhnya; dan apabila segumpal darah itu buruk, buruk jugalah tubuh seluruhnya. Segumpal darah tersebut adalah hati.”

Akan tetapi, yang dimaksudkan disini bukanlah “hati” yang terbentuk dari segumpal darah yang bersifat materi itu, namun yang dimaksudkan “hati” di sini adalah bersifat imateri.
Al-Qusyairi secara khusus memberikan penjelasan, khususnya terkait dengan alat yang bisa dipakai untuk ma’rifat (melihat dengan mata hati) kepada Allah Swt. Alat tersebut adalah qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan; ruh untuk mencintai Tuhan; dan sirr untuk melihat Tuhan. Sirr lebih halus dari ruh. Ruh lebih halus dari qalb.
Dalam realitasnya, manusia memang terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani. Unsur jasmani atau material berasal dari tanah. Sedangkan, unsur ruhani yang bersifat imateri berasal dari Tuhan. Ruh yang ditiupkan kepada manusia merupakan ruh yang langsung terpancar dari Tuhan – yang dalam bahasa Al-Ghazali -disebut dengan sesuatu yang halus dan indah.
Hati mempunyai dua kekuatan yaitu: kekuatan nafsu ammarah dan kekuatan nafsu muthmainnah. Nafsu ammarah mendorong manusia untuk berbuat jahat, dan nafsu muthmainnah mendorong manusia untuk berbuat kebaikan (membawa kepada kesempurnaan jiwa).
Mengingat ruh, jiwa, hati, dan akal langsung datang dari Tuhan, cara penyuciannya harus dengan banyak mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara banyak melakukan amal sholeh, beribadah kepada-Nya, berdzikir, bertasbih, bertahlil,dan sebagainya. Intinya harus sesuai dengan ketentuan yangtelah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Disamping juga harus senantiasa mengosongkan diri dari sifat, sikap, perkataan, dan perilakunya dari hal-hal yang kotor dan merusak hal-hal tersebut (at-takhalli an as-sayyiat), dengan menghiasi diri dengan sifat, sikap, dan perbuatan yang terpuji (at-tahalli min al-Illahiyyat).  

C. NORMA DASAR DAN TOLAK UKUR AKHLAK
1. Norma Dasar
Akhlak yang baik merupakan sifat Nabi Muhammad saw dan merupakan amal para siddiqin yang paling utama ia merupakan separuh dari agama dan merupakan buah dari kesungguhan orang yang bertakwa, latihan orang yang ahli ibadah. Sedangkan akhlak yang jelek merupakan racun yang mematikan dan yang membinasakan serta kehinaan yang jelas. Ia bagaikan kotoran yang menjauhkan dari sisi Tuhan semesta alam yang memetakan pada jalan setan. Akhlak jelek adalah pintu yang terbuka menuju neraka Allah, begitu juga Akhlak baik adalah pintu yang terbuka menuju kenikmatan surga dan sisi Allah. Pada dasarnya akhlak yang baik adalah merupakan tujuan diutusnya Nabi Muhammad saw, sebagaimana sebuah riwayat, Rasulullah pernah menyatakan bahwa beliau diutus sebagai Rasul adalah untuk menyempurnakan akhlak. Beliau bersabda:
Dari pengertian hadist diatas dapat dipahami bahwa risalah Nabi Muhammad adalah berupa norma-norma yang menuntun orang agar berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Dengan kata lain,menjalankan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk adalah inti ajaran Islam.

2. Tolak Ukur Akhlak
a. Takhali
HM. Amin Syukur, sebagai contoh, menegaskan bahwa takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran dan penyakit hati yang merusak. Sedangkan Mustafa Zahri merumuskan takhalli sebagai upaya mengosongkan diri dari segala sifat-sifat yang tercela. M. Hamdani Bakran al-Dzaky menjelaskan bahwa takhalli yaitu metode pengosongan diri dari bekasan kedurhakaan dan pengingkaran dosa terhadap Allah Swt dengan jalan melakukan tobat yang sesungguhnya (taubatan nasuhah).
Fase takhalli adalah fase pensucian mental, jiwa, akal pikiran dan hati, sehingga memancar keluar dan moral (akhlâq) yang mulia dan terpuji.
b. Tahalli
Menurut HM. Amin Syukur, tahalli adalah menghias diri dengan cara membiasakan sifat, sikap dan perbuatan yang baik. Sedangkan Mustafa Zahri mengartikan tahalli yaitu menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. Untuk melakukan tahalli, langkahnya adalah membina pribadi, agar memiliki akhlâqul karimah dan selalu konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya dalam takhalli. Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berperilaku baik, yang pada  gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna (insân kâmil).
Langkah pengosongan dalam tahalli secara langsung dan disinari dengan sifat-sifat terpuji (mahmûdah) dan sifat-sifat ketuhanan antara lain pengesaan Tuhan secara mutlak (al-tauhid), kembali ke jalan yang benar (al-taubah), sikap hati mengambil jarak dengan dunia materi (al-zuhûd), cinta kepada Tuhan (al-hubb), memelihara diri dari barang-barang yang haram dan syubhât (al-warâ’), tabah dan tahan dalam menghadapai segala situasi dan kondisi (al-shabru), merasa butuh kepada Tuhan (al-faqru), sikap terima kasih dengan menggunakan nikmat dan rahmat Allah Swt secara fungsional dan proporsional (al-syukru), rela terhadap segala yang telah diterimanya (al-ridhâ), berpasrah diri kepada Allah Swt setelah berusaha semaksimal mungkin (al-tawakkal), menerima pemberian Allah Swt secara ikhlas (al-qanâ’ah) dan lain sebagainya. Setelah seseorang berupaya melalui dua tahap tersebut, yaitu tahap takhalli dan tahalli, maka kemudian tahap ketiga yaitu tajalli.

c. Tajalli
Menurut Mustafa Zahri, tajalli adalah lenyapnya atau hilangnya hijâb dari sifat-sifat manusiawi, jelasnya cahaya yang selama itu ghaib, lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah Swt. Sedangkan Hasyim Muhammad menyatakan bahwa tajalli adalah lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan.
Hal ini bisa diketahui dari indikasi-indikasi yang muncul. Di antara indikasi kelahiran baru seorang manusia itu adalah pada tingkat dasar berupa kehadiran rasa aman, tenang dan tenteram, baik secara psikologis, spiritual maupun fisik, sebagai indikasi telah lenyapnya bekasan-bekasan hitam sebagai akibat dari pengingkaran atau maksiat kepada Allah Swt, yang melekat pada akal pikiran, hati, inderawi, jiwa, jasad dan kehidupan. Pada tingkat menengah ada-lah berupa kehadiran sifat, sikap dan perilaku yang baik, benar, sopan santun, tulus, istiqâmah, yakin, ksatria dan lain sebagainya secara otomatis, bukan rekayasa. Pada tingkat atas adalah berupa kehadiran potensi menerima mimpi yang benar, ilhâm yang benar dan kasyâf yang benar. Pada tingkat kesempurnaan adalah berupa kehadiran ketiga tingkatan itu ke dalam diri.


0 komentar

Posting Komentar