Rabu, 20 September 2017

Maqamat

A. Pengertian Maqamat
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan tempat berpijak dua telapak kaki. Bentuk jama’nya maqamat. Dalam ilmu tasawuf istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan Alloh, menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan dan perjuangan menurut Alloh ‘Azza wa jalla”. Maqamat menurut ‘Abd Al-Razzaq Al-Qasany, adalah pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapka. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam berbagai maqam, maka ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya dikatakan maqam, karena orang yang menjelaskan tasawuf (salik) menempati kedudukan itu.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa maqam dijalani oleh salik melalui usaha yang sungguh-sungguh, sejumlah kewajiban yang harus ditempuh untuk jangka waktu tertentu. Maqam ini, menurut Al-Mishri, dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol dan amalannya. Dan pengertian ini dapat dikatakan bahwa keberhasilan seseorang sufi itu merupakan penilaian yang berasal dari Alloh, dan mencerminkan kedudukan seseorang salik dalam pendangan Alloh.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para sufi tentang apa yang dimaksud dengan maqam. Al-Qusyari, misalnya, mengatakan:
Maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi kepada pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban.
Al-Thusi mengatakan:
“Kedudukan hamba dihadapan Alloh yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan relawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada-Nya”.
Dari pengertian ini jelas dapat dilihat bahwa maqam adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Perlu dicatat disini bahwa maqam diperoleh melalui usaha-usaha atau latihan-latihan dari seorang hamba. Inilah yang membedakan maqamat dari Ahwal yang diperoleh sebagai anugrah dari Alloh sebagai mana yang akan dijelakan pada bagian ahwal.
B. Tahapan Maqamat
Tahapan maqamat yang dijalani sufi umumnya terdiri atas taubat, zuhud, fakir, sabar, syukur, ridha, dan tawakal.
1. Taubat
Secara etimologi adalah kembali, meminta pengampunan. Dalam perspektif sufistik, taubat dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai ketentuan agama. Taubat adalah kembali menuju kebenaran, perubahan hati, juga berarti penyesalan. Taubat merupaka tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taubat adalah asal semua maqam dan dasarnya, sebagai pembuka setiap hal. Taubat adalah permulaan dari maqamat. Taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang tidak akan membawa dosa lagi. Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terndah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Sementara itu, pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad taubat menyangkut pula pangkal dosa-dosa. Seperti dengki, sombong dan riya’. Pda tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat akhir, taubat seperti penyelesaian atas kelengkapan pikiran dalam mengingat allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
Menurut al-Mishri, taubat dibedakan atas dua macam, yaitu taubat awam dan khawas. Orang awam bertaubat terhadap dosanya, sedangkan orang khawas bertaubat karena kelalaian dari mengingat Tuhan. Dalam ungkapan lain, ia mengatakan dosa bagi al-muqqarabin merupakan kebaikan lagi al-abrar. Pandangan ini mirip dengan pernyataan al-junaidi yang mengatakan bahwa taubat ialah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir berkesinambungan.
Lebih lanjut, Al-Mishri membedakan taubat atas tiga tingkatan, yaitu:
a. Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya.
b. Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealpaan mengingtkan Tuhan.
c. Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Pembagian tobat atas tiga tingkatan tidak harus dilihat sebagai keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebut diatas. Pada pembagian ini, al-Mishri agaknya membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian sehingga jenis taubat dibedakan atas tiga macam. Perkembangan pemikiran itu boleh jadi merupakan salah satu refleksi dari proses pencarian hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual.
2. Zuhud
Zuhud atau asketisme sdcara etimologi berasal dari kata zahada artinya raghiba anhu wataraka ( dalam benci meninggalkan sesuatau). Secara terminnologi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sergala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Zuhud merupakan pendektan penting dalam tahap awal perjalanan spritual, namun tidak dianjurkan bagi sesorang yang hendak mencapai kesempurnaan. Sebab asketisme ini mengabaikan sebab-sebab sekunder, pada hal ini melalui sebab-sebab sekunder inilah manusia mendaptkan pengetahuan tentang Allah.
Zuhud tidak berarti penolkan secara murtlak kepada dunia apa yang di tekankan dalam kehiduoan zuhud adalah melepaskan diri atau mengosongkan hati dari pengaruh dunia yang dapat membuat orang lupa kepada Tuhan kehidupan dunia janganlah sampai melupakan akhirat dan ibadah kepada Tuhan.
Untuk mengkaji lebih dalam, makna zuhd dapat dibedakan pada tiga peringkat, yaitu :
a. Zuhd dalam syubhat setelah meninggalkan yang haram karena tidak menyukai celaan dimata Allah, tidak suka pada kekurangan, dan tidak suka bergabung dengan orang yang fasik. Zuhd dalam subhat bermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu itu halal atau haram dalam pandangan zahid.
b. Zuhd dalam perkara-perkara yang berlebihan, yaitu sesuatu yang lebih dari kelaziaman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontoh para nabi dan siddiqin.
c. Zuhd dalam zuhd yang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghina perbuatan zuhd, menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu pengorbanan.
3. Fakir
Fakir secara etimonologi artinya membutuhkan atau memerlukan. Kata fakir mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap kekosongan jiwa untuk menuju kepada Allah. Dalam term sufi pengertian fakir menunjukan kepada sesorang yang telah mencapai akhir ‘lorong spiritual’. Fakir dapat berati sebagai kekurangan harta dalam menjalni kehidupan di dunia. Sikap fakir penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyaka harta memungkinkan manusia lebih dekat ada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Dia.
Menurut Al-Ghazali, fakir di bagi dalam dua macam, yaitu:
a. Fakir secara umum, yaitu hujat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga eksistensinya. Fakir seperti ini adalah fakir seorang hamba kepada Tuhannya. Sikap seperti ini hukumnya wajib karena menjadi sebagian iman dan sebagai buah dari ma’rifat.
b. Fakir muqayyat (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia, seperti uang yang belum dimiliki atau dengan kata lain kepentingan manusia yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.
4. Sabar
Sabar dalam terminologi tasawuf adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanyatidak tergoyahkan, pendiriannya tidak berubah bgaimanapun berat tantangan yang dihadapi. Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir karena persyaratan untuk dapat konsentrasi dalam dzikir orang harus mencapai maqam fakir, tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam derita dan kepincangan. Oleh karena itu, harus segera melangkah ke maqam sabar.
Adapun yang dikehendaki dengan kesabaran sempurna adalah tunduk sepenuhnya tanpa syarat kepada kehendak allah, dengan menerima apa saja yang mewujud disetiap waktu. Sabar adalah kebaikan utama karena memerlukan ketundukan total dan sadar. Orang yang menggabungkan kesabaran dengan rasa syukur adalah orang yang memiliki hikmah.
Pada prinsipnya, sabr itu adalah mengingati Allah SWT yang akan memberi balasan yang setimpal bagi siapa saja yang teguh dalam kesabaran dan dapat pula menahan diri dari kemauan dan kecenderungan menuruti nafsu terhadap perkara yang diharamkan Allah SWT. Seorang yang sabar akan waspada dari berbagai pengaruh negative yang mengakibatkan dirinya jatuh ke lembah maksiat. Mereka mengamalkan berbagai bentuk ketaatan yang dirasakan sangat berat bagi dirinya dan mereka juga selalu ingat bahwa musibah yang menimpanya merupakan takdir dari Tuhannya dan ia akan berserah diri (tawakal) kepada-Nya.
Untuk mengklasifikasikan makna dan derajat kesabaran maka sabr dapat di bagi tiga tingkatan yaitu:
a. Sabr dalam menghindari kedudukan dengan memerhatikan peringatan, tetap teguh keimanan dan waspada hal yang haram dan menghindari kedurhakaan karena malu.
b. Sabr dalam ketaatan dengan menjaga ketaatan itu secara terus-menerus, memeliharanya dengan keikhlasan dan berdasarkan ilmu.
c. Sabr dalam musibah dengan memerhatikan pahala yang baik, menunggu rahmat datang, menggangap musibah sebagai hal kecil dan menghitung nikmat-nikmat masa lampau.
Kesabaran tidak pernah luput dari ujian dan cobaan. Kesabaran belum dianggap sempurna sekiranya seseorang manusia itu belum di uji dan diturunkan kepadanya suatu musibah. Keteguhan, keikhlasan, dan ketaatan adalah modal utama dalam kesabaran peringkat mana pun.
5. Syukur
Syukur secara etimologi ialah membuka dan menyatakan. Adapun menurut terminologi tasawuf, syukur ialah menggunakan nikmat Allah untuk taat dan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat terhadapNya. Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Ialah yang telah memberikan nikmat kepad kita baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikamat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Syukur merupakan pengetahuan yang membangkitkan kesadaran bahwa satu-satunya pemberi nikmat adalah Allah dan cakupan rahmatNya sangat luas.
6. Ridha
Ridha ialah menerima anugrah Allah SWT denga ikhlas atau puas tulus menerima ketentuan illahi. Orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya. Terlebih lagi ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidask mengeluh dan tidak merasa sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah para ahli ma’arif dan mahabah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahakan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
Ridha kepada Tuhan adalah pohon dari segala pelajaran yang kita terima dalam kehidupan ini. Ridha dalam hal ini menurut ahli pendidikan timbul dari ‘athifah yaitu perasaan halus (emosi). Ridha menerima kekayaan dari kemiskinan, umur panjang dan pendek, badan sehat dan sakit, semua tidak ada perbedaan, karena memang ia telah ridha kepada ketentuan Allah. Dalam kedudukan ini, sang kuasa telah ridha dan puas dengan apa yang dilakuakn oleh kekasih. Akan tetapi, manusia sejati hanya puas dan ridha dengan Allah sendiri. Orang yang telah mencapai ridha, telah pada jiwa yang ridha (an-nafs ar-ridhiyyah).
Menurut Dzu An-Nur Al-Mishri, tanda-tanda orang yang telah ridha adalah:
a. Mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan,
b. Lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan,
c. Cinta yang bergelora di kala turunnya malapetaka.
7. Tawakal
Tawakal secara etimologi artinya bersandar atau mempercayakan diri. Dalam terminologi tasawuf, tawakal baiasa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah. Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah.
Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasantawakal. Menurut Al-Ghazali tawakal terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu :
a. Tawakal atau menyerahkan diri kepada Allah, ibarat seseorang menyerahakan perkaranya kepada pengacara yang sepenuhnya dipercayakan menanganinya dan memenangkannya.
b. Tawakal atau menyerahkan diri kepada Allah, ibarat bayi menyerahkan diri kepada ibunya.
c. Derajat tawakal tertingg, yaitu tawakal atau menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, ibarat jenazah di tengah petugas yang memandikannya.


0 komentar

Posting Komentar