Senin, 08 Mei 2017

Pengertian Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Qur’an.

1.Pengertian Pendidikan dalam Islam.
Dalam khazanah pemikiran Pendidikan Islam, terutama dalam karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang digunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam”, dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.
Menurut Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Muhaimmin, menjelaskan bahwa pendidikan Islam setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamiy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami).
Selain delapan istilah pendidikan Islam yang telah dijelaskan oleh Langgulung di atas, ternyata pendidikan Islam juga populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadloh, irsyad, dan tadris. Dari masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu dari istilah tersebut sebenarnya telah mewakili istilah yang lain. Implikasinya, berbagai literatur Ilmu Pendidikan Islam, semua istilah itu terkadang digunakan secara bergantian dalam mewakili istilah pendidikan Islam.
Istilah “pendidikan” dalam perspektif Islam diartikan berbeda, terutama antara ta’dib, ta’lim dan tarbiyyah, baik pada tingkat etimologi ataupun terminologi.  Namun setelah diadakannya Konfrensi Dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah, yang membahas penggunaan istilah tarbiyyah, ta’dib dan ta’lim dan pada akhirnya memutuskan istilah-istilah tersebut digunakan bersama-sama. Istilah ketiganya digunakan untuk mewakili lingkup pendidikan dalam Islam baik formal ataupun non-formal.
2.Pengertian Akhlak dalam Al-Qur’an.
Allah adalah zat yang maha menciptakan (Al-Khaliq) manusia dalam bentuk yang paling sempurna, hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat At-Tiin:  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S At-Tiin: 4).
Kesempurnaan fisik seseorang harus selaras dengan kesempurnaan akhlaknya, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan akhlaknya, upaya memperbaiki akhlak merupakan suatu ibadah sebagaiman misi Rasulullah di utus ke dunia, yakni untuk menyempurnakan akhlak.
Karena fisik manusia itu ranah sang pencipta (Al-Khaliq). Jadi Al-Khaliq lah yang menciptakan fisik manusia dengan sempurna, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang menghina, mencela, merendahkan atau bentuk-bentuk lain terhadap fisik manusia. Dalam tataran fisik, tidak ada sedikitpun ruang kritik atas wujud manusia, tanpa satupun kecuali. Karena menghina fisik seseorang berarti telah menghina zat yang menciptakan, yaitu Allah sebagai Al-Khaliq.
Selanjutnya Said Aqil Siradj mengatakan:
Berbeda dengan ranah khalq (fisik manusia) yang anti kritik, adalah al-khulq (keluhuran budi). Tuntutan untuk berbudi luhur berarti larangan melakukan tindakan yang tercela. Jika seseorang dituntut untuk berbuat baik namun faktanya ia bermoral buruk maka berakibat pada runtuhnya karakteristik ketuhanan dalam dirinya. Ia pun jadi hina dan dihinakan. Ia jadi rendah dan direndahkan. Pada ranah al-khuluq ini terjadi seseorang memuliakan orang lain karena keluhuran budinya. Sebaliknyapun terjadi, seseorang merendahkan orang lain karena perangainya yang buruk.

Maka dari kata al-khuluq inilah, kemudian terbentuk kata akhlaq, yang merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang dalam bahasa Indonesia disebut akhlak. Akhlak itu sendiri berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.  Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tabiat, kelakuan,dan watak. Sehingga berakhlak berarti mempunyai pertimbangan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Sinonim dari kata akhlak adalah etika atau moral.
Sedangkan secara terminologis, banyak sekali pakar pendidikan yang memberikan pengertian akhlak. Ibnu Miskaweih seperti dikutip Aminuddin, mendefinisikan akhlak sebagai keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.  Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dan tanpa memerlukan dan pertimbangan.
Sa’adudin mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti, yang diantaranya adalah:
a.Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.
b.Adat, yaitu sifat yang dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keiinginan.
c.Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan sehingga menjadi adat.
Sedangkan akhlak islami adalah sesuatau yang sudah melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika sudah memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain:
a.Dilakukan berulang-ulang, karena jika hanya dilakukan sekali saja atau jarang, maka tidak dapat dikatakan akhlak.
b.Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu atau dipertimbangkan berulang-ulang.
Meskipun banyak yang mengartikan bahwa antara akhlak, etika dan moral adalah sama, yakni membahas baik dan buruk dan prilaku manusia, namun menurut Quraish Shihab, konsep akhlak dalam ajaran Islam tidak dapat disamakan dengan etika. Jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah, akhlak lebih luas maknanya dari pada etika, karena mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin atau pikiran, akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga pada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhan dan benda mati).  Tapi tampaknya masyarakat luas istilah-istilah tersebut disinonimkan dan dipakai silih berganti untuk menunjukan sesuatu yang baik atau buruk

A.Ruang Lingkup Akhlak dalam Al-Qur’an.
Secara garis besar, akhlak dalam Islam dibagi dua bagian:
1.Akhlak yang terpuji (al-Akhlak al-Karimah/al-Mahmudah), yaitu akhlak yang senantiasa berada dalam kontrol Ilahiyyah yang dapat membawa nilai-nilai yang positif bagi kemaslahatan diri sendiri dan umat. Beberapa sifat yang termasuk akhlak karimah diantaranya, sifat sabar, jujur, tawadhu, ikhlas, syukur, rendah hati, tolong-menolong dan sebagainya.
2.Akhlak yang tercela (al-Akhlak al-Madzmumah), yaitu akhlak yang berada diluar kontrol Ilahiyyah, atau asalnya datang dari hawa nafsu yang berada dalam lingkup syaitan. Dan sifat-sifat tercela ini hanya akan membawa dampak negatif, bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi umat manusia. Beberapa sifat tercela tergambar dalam sifat sombong, tamak, kuffur, berprasangka buruk, malas, menyakiti sesama dan sebagainya.
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, dan membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.
Selanjutnya dilihat dari sasaran/objeknya, akhlak islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khaliq (Allah) dan akhlak kepada makhluk (selain Allah). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, akhlak terhadap sesama manusia, dan akhlak terhadap lingkungan (tumbuhan dan binatang), dan akhlak terhadap benda-benda mati.
1.Akhlak Kepada Allah.
Titik tolak akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agungnya sifat itu, jangankan manusia, malaikat sekalipun tak mampu menjangkau hakikat-Nya.  Orang Islam yang memiliki aqidah yang benar dan kuat, berkewajiban untuk berakhlak kepada Allah dengan cara meluruskan ubudiyyah dengan dasar tauhid.  Dasar tauhid dalam agama Islam dengan sangat jelas tertera dalam Al-Qur’an yang agung:
Artinya: “Katakanlah! Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.
Bentuk lain dari akhlak terhadap Allah adalah dengan beribadah dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan sesuai dengan perintah-Nya, antara lain dengan berdzikir dalam kondisi dan situasi apapun. Berdoa’a kepada Allah, karena do’a merupakan inti dari ibadah. Bersikap tawadhu dan rendah diri dihadapan Allah, karena yang berhak untuk sombong adalah Allah semata, sehingga tidak layak seseorang hidup dengan kesombongan.
2.Akhlak terhadap sesama manusia.
Akhlak terhadap manusia harus dimulai dari akhlak terhadap Rasulullah, sebab beliau adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya. Diantara bentuk akhlak kepada beliau adalah dengan cara mencintai Rasulullah dan memuliakannya.  Pada sisi lain Allah menekankan bahwa hendaknya manusia didudukkan secara wajar, dan Nabi Muhammad adalah manusia, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang mendapatka wahyu dari Allah. Maka atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain, Al-Qur’an telah berpesan:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (Q.S Al-Hujurat: 2).
Sementara itu, Aminuddin secara lebih detail merinci akhlak terhadap sesama manusia sebagai berikut:
a.Akhlak kepada Rasulullah. Dilakukan dengan cara mencintai beliau dan mengikuti semua sunnahnya.
b.Akhlak pada kedua orang tua. Adalah dengan cara berbuat baik pada mereka dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan mencintai mereka sebagai rasa terima kasih, berlaku lemah lembut, dan merawat mereka saat mereka tua.
c.Akhlak kepada diri sendiri. Tercermin dalam sikap sabar yang merupakan hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa saja yang menimpanya. Syukur, sebagai bentuk terima kasih atas nikmat-nikmat Allah. Rendah hati, sebagai kesadaran akan hakikat dirinya yang lemah dan serba terbatas.
d.Akhlak terhadap keluarga, kerabat. Seperti saling membina rasa kasih sayang dalam kehidupan keluarga, berbakti kepada orang tua, mendidik anak dan membina hubungan silaturahmi.
e.Akhlak kepada tetangga. Dengan cara saling berkunjung, membantu dikala waktu senggang, saling menghindari pertengkaran/permusuhan.
f.Akhlak kepada masyarakat. Dapat dilakukan dengan cara memuliakan tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku.
3.Akhlak terhadap lingkungan.
Islam sungguh agama yang sempurna, begitu pula dengan ajarannya. Islam tidak hanya berbicara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, tapi juga bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia.
Menurut Quraish Shihab, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Dan hal ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungan. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan dan bimbingan agar setiap mahkluk hidup mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah yang belum matang atau memetik bunga yang belum mekar, karena hal ini berarti tidak memberikan kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

B.Dasar Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an.
Salah satu bukti kesempurnaan  agama Islam salah satunya adalah setiap ajarannya selalu memiliki dasar pemikiran, begitu juga dengan pendidikan akhlak.  Sumber untuk menentukan Akhlak dalam Islam, apakah itu termasuk dalam akhlak baik atau tercela, sebagaiman keseluruhan ajaran lainnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Baik dan buruk dalam akhlak islam, ukurannya adalah kedua sumber tersebut, bukan menurut ukuran manusia.
Meskipun Al-Qur’an di dalamnya tidak secara tegas menyebutkan kata akhlaq, namun secara konseptual ada banyak sekali ayat-ayat yang dapat dijadikan sumber pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an. Salah satu contohnya terdapat dalam firman Allah:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S Luqman: 13-14).

  Dari kedua sumber inilah (Al-Qur’an dan Hadits) kita dapat memahami bahwa sifat-sifat seperti sabar, tawakal, memaafkan, rendah hati dan bersyukur adalah bagian dari akhlak yang mulia. Sedangkan sifat seperti kikir, takabur, hasad, syirik, dan ujub merupakan bagian dari sifat tercela yang dibenci Allah.
Mengingat kebenaran Al-Qur’an adalah mutlak, maka setiap ajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an haruslah dilaksanakan, dan yang bertentangan harus ditinggalkan. Dengan demikian orang yang berpegang kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an akan terjamin dari kesesatan.
Sebagaimana pendapat yang disampaikan Quraish Shihab mengenai perbedaan antara konsep akhlak dalam Islam dengan moral dan etika, dalam pandangan Islam, sumber untuk menentukan baik dan buruk pun berbeda antara akhlak Islam, moral dan etika. Yang baik menurut akhlak adalah sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan norma agama, nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama dan masyarakat, dan tidak berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Sedangkan yang menentukan baik buruk  dalam moral dan etika adalah adat istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa. Sehingga dipandang dari sumbernya, akhlak Islam bersifat tetap dan berlaku selama-lamanya, sedangkan moral dan etika hanya berlaku selama masa tertentu dan pada tempat tertentu. Pada akhirnya akhlak itu bersifat mutlak, sedangkan moral dan etika bersifat relatif.

C.Tujuan Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an.
Berbicara tentang pendidikan Islam atau pendidikan Qur’ani, pada dasarnya tidak bisa lepas dari membicarakan tujuan hidup manusia, karena pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Dalam konteks ini Al-Qur’an secara tegas menjelaskan bahwa apapun aktifitas yang dilakukan oleh manusia tidak dapat lepas dari tujuan dan penghambaan kepada Allah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam surat al-An’am: 162:

Artinya: “Katakanlah! Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah tuhan semesta alam”. (Q.S Al-An’am: 162).

Karena proses pendidikan terkait dengan unsur kebutuhan dan tabiat manusia, maka hal ini tidak lepas dari tiga unsur, yaitu unsur jasad, ruh dan akal. Oleh karenanya tujuan pendidikan Islam harus dibangun berdasar tiga komponen tersebut. Maka dari sini dapt dikemukakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam dikelompokan menjadi tiga.
a.Pendidikan Jasmani.
Pendidikan jasmani (al-tarbIyyah al-jismiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan, menguatkan dan memelihara jasmani dengan baik dan normal. Dengan demikian, jasmani mampu melakukan berbagai kegiatan dan tanggung jawab yang dihadapinya dalam kehidupan individu dan sosial, selain itu jasmani mampu menghadapi berbagai penyakit yang mengancamnya.
b.Pendidikan akal.
Pendidikan akal (al-tarbiyah al-‘aqliyah) adalah peningkatan pemikiran akal dan latihan secara teratur. Pendidikan intelektual akan mampu memeperbaiki pemikiran tentang ragam pengaruh dan relitas secara tepat dan benar. Dengan demikian secara singkat tujuan dari pendidikan akal adalah mampu memberi pencerahan diri untuk menemukan kebenaran.
c.Pendidikan akhlak
Pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan utama yang harus diteladani oleh setiap guru dan peserta didik. Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup meghasilkan manusia yang bermoral, berjiwa bersih, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, dan dapat membedakan baik buruk, dan mengingat Tuhan disetiap pekerjaan.
Sementara itu ‘Ahiyah al-abrasyi menyimpulkan ada lima tujuan pendidikan Islam atau pendidikan Qur’ani:
a.Untuk pembentukan akhlak mulia, karena hal ini sejalan dengan diutusnya Rasulullah ke dunia, yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia.
b.Mempersiapkan manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
c.Untuk tujuan vokasional dan profesional, yaitu mempersiapkan peserta didik untuk mampu mencari dan menemukan jalan rizki, untuk menafkahi diri dan keluarganya, sehingga tidak bergantung pada orang lain.
d.Untuk menumbuhkan semangat ilmiah kepada para peserta didik dan memuaskan rasa ingin tahu dan mengkaji ilmu pengetahuan demi kemaslahatan hidupnya.
e.Mempersiapkan peserta didik agar memiliki keahlian dan keterampilan tertentu, agar dapat memenuhi kebutuhan jasmaninya di kemudian hari, disamping juga kebutuhan rohaninya.
Muhammad Munir Mursi, seorang pakar pendidikan mengatakan bahwa tujuan yang paling penting dari pendidikan Islam adalah:
a.Tercapainya manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sehat dan sejahtera lahir dan batin.
b.Tumbuhnya kesadaran manusia untuk tunduk dan mengabdi kepada Allah sepanjang hidupnya. Hal ini sesuai perintah Allah dalam firman-Nya:
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S Adz-Zariyat: 56).

c.Mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diperoleh dari adanya keseimbangan dunia dan akhirat.
Dari beberapa uraian diatas, sangat jelas bahwa pendidikan Islam dan pendidikan akhlak berkaitan erat satu sama lain. Bahwasanya tujuan inti dari pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak mulia, ini berarti bahwa untuk membentuk kepribadian seseorang agar memiliki akhlak mulia adalah dengan pendidikan Islam.
Sementara itu, telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak telah dirumuskan oleh para pemikir dan tokoh pendidikan Islam masa lalu. Seperti Ibnu Miskaweih, Al-Qabashi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji menunjukan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam prilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.
Pendidikan akhlak juga bertujuan untuk membina kualitas manusia prima dengan ciri-ciri, antara lain:
a.Beriman dan bertaqwa kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
b.Memiliki kematangan kepribadian, budi yang luhur, jujur, amanat, berani, sabar dan peduli sosial.
c.Punya keterampilan belajar, beramal shaleh, disiplin, kerja keras, mandiri, sehat jasmani dan rohani.


0 komentar

Posting Komentar